Dokter Kartono Mohamad: Visi Utopis GBHN dan Kaderisasi Parpol
Reporter
Tempo.co
Editor
Syailendra Persada
Rabu, 29 April 2020 07:02 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Kabar duka datang dari dunia medis Indonesia. Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) 1985-1988, Kartono Mohamad, meninggal pada Selasa, 28 April 2020 di Rumah Sakit Pondok Indah. Dikutip dari situs IDI, Kartono terpilih menjadi ketua umum kelima belas PB IDI saat itu melalui muktamar yang digelar di Bandung pada 1985.
Dalam wawancara dengan Majalah Tempo yang terbit pada edisi 14 Desember 1985, Kartono mengatakan, sebagai Ketua IDI, ia ingin membangun mekanisme kontrol kelulusan fakultas kedokteran. “Sebab, kalau sudah menjadi lulusan, masyarakat tidak lagi menanyakan lulusan mana. Sekarang ini tidak ada keseragaman mutu lulusan dokter,” kata Kartono kala itu. Ia berharap lulusan fakultas kedokteran dari daerah manapun memiliki kualitas yang sama.
Pria kelahiran Batang, Jawa Tengah, 13 Juli 1939 ini merupakan dokter di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Laut. Ia pensiun dengan pangkat Mayor. Ia pun pernah menjadi anggota MPR dari utusan golongan pada periode 1987-1992.
Dokter lulusan Universitas Indonesia 1964 ini juga gemar menulis. Kakak dari Goenawan Mohamad, pendiri Majalah Tempo, ini merupakan pimpinan di majalah kedokteran, Medika. Selain itu, Kartono pun banyak menulis di media massa. Tulisan Kartono tak melulu soal kesehatan. Ia bahkan kerap mengkritik kondisi politik di Indonesia.
Dalam salah satu tulisannya di Majalah Tempo pada 1 November 1999, Kartono menyindir Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang baru saja kelar menyusun Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN). Kolom berjudul “Visi Utopis GBHN” itu menyebut absurdnya haluan rumusan haluan negara.
Kala itu, MPR baru melahirkan visi GBHN yang berisi membentuk manusia Indonesia yang demokratis, kreatif, dan seterusnya. Ia menyebut visi ini terlalu utopis. Sebab, tidak jelas kapan dan bagaimana visi itu bisa tercapai.
Kartono membandingkan dengan visi pembangunan Malaysia yang dirancang bakal terealisasi pada 2020, terkenal sebagai Wawasan 2020.
Kartono menulis, “Malaysia bercita-cita pada 2020 nanti telah menjadi sebuah negara industri maju yang tidak terlalu menggantungkan diri pada bahan baku yang tidak mereka miliki. Maka, cita-cita mereka bukan menjadi negara industri baja, melainkan negara industri perangkat elektronik, komputer, dan telekomunikasi. Dengan wawasan seperti itu, langkah-langkah yang harus diambil oleh pemerintah Malaysia menjadi jelas, baik hukum, peraturan, sarana dan prasarana.”
Menurut dia, visi adalah impian. “Tapi, seperti kata Mahathir, ‘Vision is an achievable dream.’ Visi adalah impian yang dapat diwujudkan. Karena itu, visi tersebut sebaiknya dirancang untuk dapat direalisasikan dalam sekian tahun mendatang,” tulis Kartono dalam kolomnya.
<!--more-->
Salah satu penasihat Komisi Nasional Pengendalian Tembakau ini pun pernah membandingkan bagaimana perawatan Presiden Soekarno dengan Soeharto. Ia pernah mewawancarai tiga perawat di Wisma Yaso, tempat Presiden pertama itu dirawat. Selain itu, ia juga menggali bahan dari Mahar Mardjono, dokter kepresidenan Soekarno, dan Wu Jie Ping, dokter yang merawat Soekarno. Dari hasil wawancaranya itu, Dokter Kartono menyimpulkan Bung Karno ditelantarkan di hari-hari terakhirnya.
Saat Bung Karno menderita infeksi ginjal akut, ia hanya diberi vitamin B-12, B kompleks, royal jelly, dan Duvadillan, obat untuk mengatasi penyempitan pembuluh darah perifer. Obat-obatan yang lebih baik dan mesin cuci darah sebetulnya sudah tersedia pada masa itu, tapi tak pernah diberikan. ”Pak Mahar Mardjono pernah mengatakan resep yang ditulisnya tak ditukar menjadi obat,” ujar Kartono seperti dikutip dari Majalah Tempo edisi 21 Januari 2008.
Dalam wawancara yang dikutip dari Kompas.com edisi 22 Januari 2008, Kartono mengatakan perlakuan perawatan antara Soekarno dengan Soeharto sangat berbeda. Nggak kayak sekarang. Pak Harto tiap hari dirawat puluhan dokter," kata Kartono saat itu.
Kartono pun pernah meragukan rekam medis kesehatan Soeharto. Ceritanya, pada 31 Agustus 2000, Soeharto seharusnya menjalani sidang perdana. Ia disidang karena didakwa terlibat korupsi—peristiwa yang baru pertama kali terjadi sejak Indonesia merdeka.
Namun, Soeharto tak hadir. Tim pengacara bekas orang nomor satu itu menjelaskan kliennya tak bisa hadir karena sakit. Kartono Mohamad menyebut keterangan tim dokter Soeharto yang dibacakan oleh pengacaranya, "Tidak jelas benar, paling tidak bagi orang nonkedokteran." Kartono mempertanyakan apakah fakta yang diungkapkan dalam sidang tersebut benar-benar membuat Soeharto tidak dapat dihadirkan di pengadilan.
Kartono juga pernah menuangkan gagasannya terkait pemilihan presiden di Indonesia. Dalam kolom yang terbit di Majalah Tempo edisi 29 Juni 2009, Kartono menyebut salah satu kelemahan di Indonesia adalah partai politik belum menjadi tempat pendidikan calon pemimpin secara baik dan menyusun jenjang calon mereka yang akan duduk sebagai pemimpin, di tingkat daerah sekalipun.
“Bahkan untuk menjadi wakil mereka di parlemen, tidak ada persyaratan pengalaman dan kemampuan berpolitik. Ketua partai atau ketua majelis pembina mempunyai kekuasaan untuk menetapkan siapa yang boleh naik dan siapa yang harus gugur. Mungkin kita masih harus menunggu lebih dari lima kali pemilihan umum lagi,” katanya.