Penyederhanaan Regulasi Tak Menjamin Perlindungan Lingkungan
Jumat, 13 Desember 2019 22:10 WIB
INFO NASIONAL — Rencana pemerintah menerapkan omnibus law untuk mengerek pertumbuhan investasi berisiko terhadap perusakan lingkungan. Aturan yang dirancang pemerintah untuk melonggarkan perangkat kebijakan bagi masuknya investasi itu, bisa bertolak belakang dengan kebutuhan lingkungan dan penerapan pembangunan lingkungan yang berkelanjutan.
Ada banyak persoalan dan kelemahan dalam proses tata kelola hutan dan lahan. Kasus yang sering terjadi berkutat seputar penegakan hukum yang lemah, termasuk terjadinya tumpang tindih atau ketidakjelasan aturan yang ada, kemampuan teknis dan peta yang akurat, dan kepemilikan lahan yang tidak jelas. Ditambah lagi kurangnya transparansi dan partisipasi publik, serta tindak pidana korupsi. Aturan main antara tata kelola hutan lahan dengan izin investasi harus dicarikan solusinya, supaya keduanya bisa berjalan beriringan.
Abdul Kamarzuki, Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria dan Tata Ruang, menilai proteksi lingkungan dan investasi bukanlah dua hal yang berlawanan dan bisa berjalan seiring. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur bagaimana tata ruang sebagai optimalisasi pembangunan berkelanjutan.
“Tata ruang mengakomodasi dan mengoptimalisasi dua aspek ini, sehingga produk tata ruang dapat menjamin kawasan lindung dan kawasan budidaya. Undang-undang mengamanatkan tujuan tata ruang untuk menjamin masyarakat aman, nyaman, produktif, dan berkelanjutan,” ujarnya dalam Tempo Indonesia Forest Forum bertajuk Catatan Akhir Tahun Tata Kelola Hutan dan Lahan 2019 dan Visi Pembangunan Hijau 2019-2024 di Indonesia “Proteksi Lingkungan atau Investasi” di Gedung Tempo, Palmerah, Kamis, 12 Desember 2019.
Pasalnya ada wacana bahwa kementerian ATR/BPN berencana menghapus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) dan Izin mendirikan Bangunan (IMB) dalam rangka mereformasi perizinan. Pencoretan persyaratan tersebut dilakukan dalam skema perundangan omnibus law. Namun, ada kekhawatiran dicoretnya Amdal dan IMB membuat kepentingan lingkungan jadi terabaikan.
Hal itu ditegaskan oleh Henri Subagiyo dari Indonesia Center For Environmental Law (ICEL), menurutnya proteksi lingkungan bukan hitam putih. Investasi bisa dilakukan dengan memperhitungkan daya lenting lingkungan. “Dalam investasi sektor hutan dan lahan, ada berbagai dampak yang harus dimitigasi, mulai dari model bisnis, teknologi, juga aspek pelibatan masyarakat. Penghapusan Amdal justru menjadikan pelaku usaha memiliki risiko kegagalan lingkungan dan sosial di kemudian hari,” ujarnya
Fadila, salah satu peserta yang menghadiri diskusi berpendapat, Amdal masih jadi hal substantif dalam perizinan dan sinkronisasi tata ruang. Aspek itu masih diperlukan lantaran belum ada sistem pengawasan yang mumpuni, dan hingga saat ini hanya sebagian kecil kabupaten/kota yang memiliki Rencana Detail Tata Ruang (RDTR).
“Di tingkat nasional ada aturan yang mendorong keterlibatan masyarakat dalam proses penyusunan Amdal dan aturan yang mewajibkan perusahaan-perusahaan industri berbasis lahan untuk memasukkan komponen Amdal dalam perencanaan investasi. Perlu dipastikan bagaimana singkronisasi antara kebijakan tata ruang di daerah dengan nasional,” katanya.
Tak hanya itu, persoalan lainnya adalah aturan main yang selama ini ada seringkali mengabaikan keterlibatan masyarakat di sekitar hutan dan lahan, terutama komunitas perempuan. Dinda Nur Annisa Yura dari Solidaritas Perempuan mengatakan banyak perempuan yang terdampak langsung akibat investasi karena tidak mendapat informasi dan penguatan pemahaman terkait tujuan proyek investasi tersebut.
Menyikapi persoalan ini, dalam proses penyusunan omnibus law, pemerintah harus membuka keran informasi dan keterlibatan multi-pihak, serta mempertimbangkan aturan-aturan terkait lingkungan hidup apabila tujuan omnibus law ingin tercapai. (*)