Menanti Terobosan Penegakan Hukum Sektor Hutan dan Lahan
Rabu, 4 Desember 2019 19:00 WIB
INFO BISNIS — Hutan Indonesia menduduki urutan ketiga terluas di dunia dengan hutan hujan tropis (rain forest) di Kalimantan dan Papua, sehingga Indonesia memegang peran strategis dalam menekan laju emisi gas rumah kaca untuk menangani krisis iklim. Pada Conference of Parties (COP) 15 tahun 2009, Indonesia sudah berkomitmen hingga 2020 untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 26 persen dengan usaha sendiri dan 41 persen jika mendapat bantuan internasional. Target tersebut mungkin saja tercapai jika dipastikan bahwa hutan dan lahan Indonesia terlindungi.
Baik pemerintah maupun masyarakat sipil telah melakukan sejumlah upaya dan inovasi untuk menekan eksploitasi hutan dan konversi lahan, menurunkan emisi gas rumah kaca, mengantisipasi hilangnya biodiversitas, dan mengatasi konflik lahan. Selain itu, memastikan akses dan kontrol masyarakat, termasuk perempuan, terhadap sumber daya alam sebagai sumber kehidupan.
Sayangnya, walaupun sudah dilakukan berbagai inisiatif, masih ada beberapa daerah yang masih jauh dari prinsip tata kelola hutan lahan yang berkelanjutan dan berkeadilan. Kementerian Lingkungan Hidup dan kehutanan (KLHK) pun mengakui penegakan hukum masih belum maksimal.
“Penegakan hukum sampai saat ini belum menimbulkan efek jera, baru menunjukkan shock therapy belum efek jera jangka panjang,” ujar Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLHK, Rasio Ridho Sani, dalam acara Ngobrol@Tempo bertajuk Catatan Akhir Tahun Tata Kelola Hutan dan Lahan 2019 dan Visi Pembangunan Hijau 2019-2024 di Indonesia “Penegakan Hukum Sektor Hutan dan Lahan di Indonesia” di gedung Tempo, Palmerah, Rabu, 3 Desember 2019.
Meskipun demikian, banyak hambatan yang menyebabkan perusahaan mengulangi perbuatannya, seperti misalnya melakukan pembakaran lahan. Ini berkaitan dengan budaya kepatuhan yang juga tak dijalankan oleh perusahaan yang bersangkutan. Ada tantangan bagaimana eksekusi proses selanjutnya, yakni keberanian menggugat, keberhasilan, dan proses eksekusi keseluruhannya menjadi penting.
Senada dengan hal itu, Edo Rakhman, koordinator kampanye WALHI menilai efektivitas penegakan hukum sulit dilakukan karena sulitnya menerapkan indikator pembuktian apabila pelanggaran sudah terjadi, terutama pelanggaran bagi korporasi. Bahkan Pasal 66 Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, belum cukup menjerat pelaku pelanggaran.
Pendapat lain dilontarkan Firmansyah, salah satu aktivis The Asia Foundation yang menghadiri diskusi. Salah satu jurus ampuh hukum lingkungan menjerat korporasi adalah menerapkan konsep strict liability.
“Beban penggugat menjadi lebih ringan, penggugat yang dibebani pembuktian kesalahan. Jadi, dilakukan pembuktian terbalik. Ini terobosan bagaimana bisa membuktikan kasus pelanggaran, misalnya pada kasus karhutla,” katanya.
Menanggapi hal ini, Bambang Mulyono, Kepala Pusat Pendidikan Pelatihan Mahkamah Agung, mengatakan pihaknya juga berupaya mendorong para hakim melakukan strict liability yang sarat akan bukti ilmiah. “Kita juga mendorong para hakim dan sertifikasi hakim lingkungan hidup mutlak diperlukan, sudah kita terapkan itu,” katanya.
Pada akhirnya, peran penegakan hukum di sektor kehutanan dan lahan merupakan kerja bersama. Diperlukan partisipasi publik dan integritas dari aparat, serta berbagai pihak. Perspektif penegakan hukum jangan selalu dipandang hanya penindakan, ada pencegahan, ada pengawasan, dan ini juga harus melibatkan kita semua terutama dalam konteks pengawasan. (*)