Komnas Perempuan Desak DPR Tunda Pengesahan RKUHP

Reporter

Dewi Nurita

Editor

Juli Hantoro

Jumat, 20 September 2019 15:25 WIB

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Peduli HAM membawa poster saat Aksi Kamisan di depan Brikan Balai Kota Malang, Jawa Timur, Kamis 19 September 2019. Dalam pernyataan sikapnya, mereka meminta pemerintah lebih tegas dalam menuntaskan kasus pelanggaran HAM, menolak Revisi Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) serta memberikan perlindungan bagi perempuan dengan mengesahkan Revisi Undang-undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS). ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto

TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mendesak DPR menunda Pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.

Komisioner Komnas Perempuan Azriana mengatakan, lembaganya menyesalkan proses pembahasan RKUHP yang cenderung tertutup dalam beberapa hari terakhir menjelang pengesahan. Ia juga kecewa karena ada perubahan substansi atau penambahan rumusan terhadap sejumlah pasal yang sebelumnya sudah relatif baik.

"Perubahan substansi dan penambahan rumusan yang terjadi justru menjadikan rumusan pasal-pasal yang sudah relatif baik menjadi multi tafsir dan menjauh dari prinsip-prinsip konstitusi dan HAM," ujar Azriana lewat keterangan tertulis pada Jumat, 20 September 2019.

Jika mencermati draf RUU KUHP per 15 September 2019 dan dikaji dengan UUD 1945 Negara Republik Indonesia dan Undang Undang RI Nomor 7 Tahun 1984 tentang Ratifikasi Konvensi Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan serta payung hukum lainnya, Komnas Perempuan menilai sejumlah pasal yang ada dalam RKUHP bertentangan dengan UUD dan UU tersebut.

"Jika diimplementasikan akan menimbulkan overkriminalisasi terhadap kelompok rentan, dalam hal ini anak, perempuan, kelompok miskin, orang dengan disabilitas, masyarakat hukum adat, penghayat kepercayaan, dsb," ujar dia.

Advertising
Advertising

Azriana merinci, pasal yang dimaksud di antaranya; Pasal 412 tentang Kesusilaan di Muka Umum. Penjelasan frasa “di muka umum” dalam pasal ini dinilai berpotensi melindungi pihak-pihak yang memiliki privilege untuk menutupi tindak pidana yang mereka lakukan, namun merentankan kelompok miskin karena tempat tinggal dan lokus mobilitasnya yang mudah dilihat, didatangi dan disaksikan oleh pihak-pihak lain.

Selanjutnya, yang disoroti adalah Pasal 414-416 tentang Mempertunjukkan Alat Pencegah Kehamilan dan Alat Pengguguran Kandungan. "Rumusan penjelasan pada pasal ini berpotensi menghalangi inisiatif dan partisipasi masyarakat dalam edukasi kesehatan reproduksi di masyarakat, serta program keluarga berencana," ujar Azriana.

Selanjutnya, Pasal 419 tentang Hidup Bersama. Dalam draft terbaru ada frasa “pengaduan dapat juga diajukan oleh kepala desa atau dengan sebutan lainnya”. Pasal ini dinilai membuka peluang masyarakat luas ataupun pihak ketiga terlibat dalam pemidanaan.

Selanjutnya, Pasal 470-472 tentang Pengguguran Kandungan, yang akan mempidana setiap perempuan yang menghentikan kehamilan.

Pasal 470 ini dinilai tidak sinkron dengan Undang-Undang tentang Kesehatan dan komitmen SDGs untuk menurunkan angka kematian ibu akibat kehamilan. Karena kehamilan tidak diinginkan menyumbang 70 persen angka kematian ibu. Pasal 472 bahkan akan mempidanakan perempuan korban kekerasan seksual atau perempuan lainnya menghentikan kehamilan karena alasan darurat medis.

"Padahal, pasal 31 PP 61 tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi membenarkan tindakan aborsi yang dilakukan berdasarkan indikasi kedaruratan medis atau kehamilan akibat perkosaan," ujar dia.

Selanjutnya, Pasal 467 tentang Larangan seorang Ibu melakukan perampasan nyawa terhadap anak yang baru dilahirkan (Infantisida). Rumusan pasal ini dinilai diskriminatif terhadap perempuan karena mengasumsikan hanya ibu yang takut kelahiran anak diketahui oleh orang (dalam konteks kelahiran anak di luar nikah).

"Padahal fakta di masyarakat laki-laki yang menyebabkan kehamilan juga mengalami ketakutan. Karena asumsi yang diskriminatif tersebut potensi terbesar untuk dikriminalkan dalam pasal ini adalah perempuan," ujar Azriana.

Atas semua pasal tersebut, Komnas Perempuan mendesak agar DPR menunda pengesahan revisi KUHP dan membuka ruang dialog membahas revisi undang-undang ini.

Berita terkait

Politikus Senior PDIP Tumbu Saraswati Tutup Usia

12 hari lalu

Politikus Senior PDIP Tumbu Saraswati Tutup Usia

Politikus senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dan aktivis pro demokrasi, Tumbu Saraswati, wafat di ICU RS Fatmawati Jakarta pada Kamis

Baca Selengkapnya

Beredar Video Seorang Suami Diduga Sekap Istri di Kandang Sapi, Komnas Perempuan Bilang Begini

47 hari lalu

Beredar Video Seorang Suami Diduga Sekap Istri di Kandang Sapi, Komnas Perempuan Bilang Begini

Beredar video yang memperlihatkan seorang istri diduga disekap di kandang sapi oleh suaminya di Jember, Jawa Timur. Komnas Perempuan buka suara.

Baca Selengkapnya

Korban Dugaan Kekerasan Seksual Rektor Universitas Pancasila Tidak Mendapat Perlindungan dan Komunikasi dari Kampus

8 Maret 2024

Korban Dugaan Kekerasan Seksual Rektor Universitas Pancasila Tidak Mendapat Perlindungan dan Komunikasi dari Kampus

Amanda Manthovani, pengacara 2 korban kekerasan seksual diduga oleh Rektor Universitas Pancasila nonaktif mengaku tak ada perlindungan dari kampus.

Baca Selengkapnya

Komnas Perempuan Minta Polisi Patuhi UU TPKS Saat Usut Dugaan Kekerasan Seksual Rektor Universitas Pancasila

3 Maret 2024

Komnas Perempuan Minta Polisi Patuhi UU TPKS Saat Usut Dugaan Kekerasan Seksual Rektor Universitas Pancasila

Komnas Perempuan mendorong polisi mematuhi UU TPKS dalam mengusut perkara dugaan kekerasan seksual oleh Rektor Universitas Pancasila.

Baca Selengkapnya

Dugaan Kekerasan Seksual di Universitas Pancasila , Komnas Perempuan Minta Rektor Tak Laporkan Balik Korban

3 Maret 2024

Dugaan Kekerasan Seksual di Universitas Pancasila , Komnas Perempuan Minta Rektor Tak Laporkan Balik Korban

Komnas Perempuan meminta Rektor Universitas Pancasila tidak melaporkan balik korban dugaan kekerasan seksual.

Baca Selengkapnya

Kasus Pelecehan Seksual Diduga oleh Rektor Universitas Pancasila, Komnas Perempuan Dorong Polisi Gunakan UU TPKS

27 Februari 2024

Kasus Pelecehan Seksual Diduga oleh Rektor Universitas Pancasila, Komnas Perempuan Dorong Polisi Gunakan UU TPKS

"Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian perempuan pelapor/korban untuk bersuara."

Baca Selengkapnya

Polisi Mulai Penyelidikan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual yang Dilakukan Pimpinan Universitas Pancasila

24 Februari 2024

Polisi Mulai Penyelidikan Kasus Dugaan Pelecehan Seksual yang Dilakukan Pimpinan Universitas Pancasila

Polisi sedang menyelidiki kasus dugaan pelecehan seksual yang dilakukan Rektor Universitas Pancasila di lingkungan kampus.

Baca Selengkapnya

Debat Capres: Anies Baswedan Soroti Kekerasan Terhadap Perempuan, Catcalling dan Upah Setara Pria dan Wanita

6 Februari 2024

Debat Capres: Anies Baswedan Soroti Kekerasan Terhadap Perempuan, Catcalling dan Upah Setara Pria dan Wanita

Anies Baswedan soroti persoalan isu perempuan saat debat capres soal catcalling, pemenuhan daycare, kekerasan terhadap perempuan, dan upah setara

Baca Selengkapnya

Komnas Perempuan Siap Beri Pendampingan untuk Pacar Leon Dozan

20 November 2023

Komnas Perempuan Siap Beri Pendampingan untuk Pacar Leon Dozan

Komnas Perempuan tak menampik bahwa selama ini banyak korban kekerasan dalam pacaran tidak berani melapor. Sebut ada perbuatan manipulatif.

Baca Selengkapnya

Kasus Leon Dozan Aniaya Pacar, Komnas Perempuan Catat 2098 Kasus Kekerasan dalam Pacaran

20 November 2023

Kasus Leon Dozan Aniaya Pacar, Komnas Perempuan Catat 2098 Kasus Kekerasan dalam Pacaran

Dalam kasus dugaan penganiayaan pacar ini, Leon Dozan sudah ditetapkan tersangka dan langsung ditahan di rutan Polres Jakarta Pusat.

Baca Selengkapnya