Dianggap Dekat Partai, YLBHI Kritik Kejaksaan di Bawah Prasetyo
Reporter
Dewi Nurita
Editor
Syailendra Persada
Jumat, 2 Agustus 2019 09:28 WIB
TEMPO.CO, Jakarta - Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengkritik Jaksa Agung H.M. Prasetyo yang dekat dengan Partai NasDem. Pengurus YLBHI Asfinawati menyebut, setidaknya ada tujuh catatan terkait kinerja kejaksaan di bawah Prasetyo yang dinilai belum akuntabel, proporsional, dan profesional. Selain itu, kejaksaan juga dianggap belum mengedepankan demokrasi dan Hak Asasi Manusia.
Untuk itu, YLBHI mendorong Jaksa Agung di kabinet pemerintahan Jokowi Jilid II, merupakan sosok yang berada di luar partai. "Tepatnya JA harus orang yang bisa lepas dari kepentingan politik dan partai politik. Dia harus dan hanya menegakkan hukum dan keadilan, seperti simbol dewi keadilan yang matanya tertutup," kata Asfinawati saat dihubungi Tempo pada Jumat, 2 Agustus 2019.
Pertama, Asfinawati menganggap Kejaksaan belum profesional dan tidak memegang prinsip fair trial dalam menjalankan tugas sebagai penuntut. Dalam sejumlah kasus, kejaksaan tidak menggunakan kewenangan sebagai pengendali perkara untuk menghentikan perkara kriminalisasi hak yang masuk dari penyidik. Penuntut malah mengikuti irama penyidik akhirnya kasus dipaksakan masuk pengadilan.
Kemudian, kata dia, Kejaksaan juga dianggap diskriminatif dan melanggar HAM. Dalam sejumlah kasus, kejaksaan tetap melakukan penuntutan ke pengadilan perkara-perkara pidana yang bukti-buktinya patut diduga diperoleh penyidik melalui penyiksaan.
Ketiga, YLBHI memandang Kejaksaan merusak demokrasi dan melanggar HAM. Dalam sejumlah kasus, kejaksaan sebagai eksekutor putusan enggan melakukan eksekusi dan menunda mengeluarkan tahanan.
Akibatnya tahanan ataupun terpidana kelebihan masa tahanan atau pemenjaraan (overstay) di rutan maupun lembaga pemasyarakatan. Kejaksaan juga sering mengeluarkan surat penetapan penahanan kepada tersangka ketika pelimpahan tahap 2 tanpa alasan yang jelas padahal tersangka koperatif dan sejak penyidikan tidak ditahan.
<!--more-->
Keempat, Asfinawati menuturkan Kejaksaan Agung menghambat penuntasan pelanggaran HAM yang berat dan menjadi alat impunitas. "Kejaksaan Agung selalu mengembalikan berkas perkara dengan alasan kurangnya bukti padahal yang harus mencari bukti adalah mereka," kata dia.
Kejaksaan, kata Asfinawati, juga berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi. Kejaksaan Agung membentuk Tim Pengawal dan Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan (TP4) yang diperkuat dengan Peraturan Jaksa Agung No. Per-014/A/JA/11/2016 tentang mekanisme kerja teknis dan administrasi. Pada prakteknya tim ini berpotensi menghalangi pengungkapan korupsi yang terjadi pada proyek yang dikawal dan bahkan peluang korupsi itu sendiri;
Selain itu, Penuntut Umum diaggap tidak mandiri dan independen. Sistem rencana penuntutan (Rentut) berjenjang dimana yang berwenang menentukan tuntutan bukanlah Penuntut Umum yang bersidang dan lebih mengetahui fakta persidangan tetapi pimpinan Kejaksaan baik Kejaksaan Negeri, Kejaksaan Tinggi maupun Kejaksaan Agung.
Hal ini berpotensi memunculkan tekanan pimpinan terhadap Penuntut Umum dan membuka ruang korupsi baik gratifikasi, perdagangan pengaruh(trading influence) maupun penyuapan dan pemerasan;
Terakhir, Asfinawati mengatakan Kejaksaan belum memiliki keterbukaan informasi. "Akses informasi di Kejaksaan relatif tertutup sehingga publik sulit untuk mengakses informasi termasuk surat-surat edaran Kejaksaan yang ikut menentukan nasib masyarakat," kata dia.