Orang-orang yang dievakuasi setelah operasi keamanan terhadap separatis di desa mereka beristirahat di tempat penampungan sementara saat tiba di Timika, Papua, 17 November 2017. Personel keamanan gabungan TNI dan Polri berhasil mengevakuasi warga yang diisolasi oleh kelompok kriminal bersenjata di Kampung Kimberly. AP
TEMPO.CO, Jakarta - Koordinator Subkomisi Penegakan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Amiruddin al-Rahab menuturkan ia belum mengetahui kondisi terkini Distrik Tembagapura, Kabupaten Mimika, Papua, pasca-evakuasi terhadap penduduk pendatang Desa Kimbely dan Banti. “Saya belum bisa update,” ujarnya saat dihubungi, Senin, 20 November 2017.
Staf Komnas HAM yang berada di Papua baru akan sampai di Jakarta malam ini atau Selasa, 21 November 2017. “Setelah dia datang, baru kami baca hasil laporannya,” katanya.
Ia belum bersedia memberikan pernyataan mengenai kemungkinan adanya pelanggaran HAM dalam operasi itu. Amiruddin juga mengaku belum bisa mengomentari karena ia belum menerima laporan hasil pemantauan. “Kami baca dulu, setelah itu diskusikan,” ucapnya.
Pasukan gabungan dari Kepolisian RI dan Tentara Nasional Indonesia mengevakuasi warga pendatang Desa Kimbely dan Banti, Papua, pada Jumat, 17 November 2017. Dari 1.300 warga, sekitar 300-an pendatang dievakuasi dari wilayah itu.
Warga yang dievakuasi dari dua kampung itu terdiri atas 104 laki-laki, 32 perempuan, dan 14 anak-anak. Sebanyak 344 orang berasal dari Desa Kimbely serta 153 laki-laki, 31 perempuan, dan 10 anak-anak dari wilayah Longsoran.
Pengacara hak asasi manusia, Veronica Koman, membantah berita penyanderaan terhadap 1.300 warga di Desa Kimbely dan Banti. Kepolisian dinilai memanipulasi fakta mengenai situasi yang sebenarnya di wilayah itu. “Tidak benar itu (penyanderaan),” ucapnya saat dihubungi Tempo di Jakarta, Ahad, 12 November 2017.