TEMPO.CO, Jakarta - Teror bom dan penembakan di kawasan Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat berujung pada pengunduran diri Ardila Ayu, 25 tahun, dari pekerjaannya sebagai kasir di restoran cepat saji di kawasan itu."Sebenarnya saya betah, tapi mau bagaimana lagi," kata dia saat ditemui Sabtu 16 Januari 2016.
Ardila mengisahkan, saat peristiwa teror itu terjadi dia sedang melayani seorang pelanggan yang tengah membayar. Pada Kamis 16 Januari 2016 pagi itu, Ardila mengatakan suasana di tempatnya bekerja sudah sibuk. "Customer hari itu banyak," kata dia.
Menurut Ardila saat tengah melayani pelanggan itulah dia mendengar suara ledakan. Awalnya dia mengira itu hanya ban meletus. Tapi dia melihat semua pelanggan berhamburan ke luar. Ardila pun ikut untuk menyaksikan apa yang terjadi.
Begitu keluar, ia melihat jalanan sudah ramai. Ada asap mengepul dari pos polisi lalu lintas. "Saya tidak lihat ada mayat karena tertutup orang banyak," kata dia.
Ardila melihat seorang laki-laki memakai rompi hitam tiba-tiba mengeluarkan pistol kecil tak jauh dari posisinya saat itu. Ia mengarahkan senjatanya ke lampu lalu lintas. Warga takut dan berlarian. "Dia pakai topi dan wajahnya indo," ujar Ardila.
Tak lama, baku tembak terjadi. Ardila melihat laki-laki bertopi yang dilihatnya tadi terkapar. Dari kedai Starbucks yang bersebelahan dengan restonya, ia mendengar suara ledakan lagi. Semua pengunjung lari ke dalam. Namun, perempuan yang kini hamil dua minggu ini bergeming.
Dari dalam Starbucks muncul seseorang yang diseret. Sigap, Ardila mengeluarkan handphone dan merekamnya. Orang tersebut diseret hingga sampai di depan Burger King. Begitu dilepaskan, dor! Yang diseret tewas.
Ardila gemetar. Ia tak tahu harus berbuat apa. Kemudian seseorang tak dikenal datang ke arahnya. Ia membentak-bentak, "Ngapain kamu ambil gambar-gambar ini?" katanya seperti ditirukan Ardila. Sontak telepon genggam milik Ardila dirampas dan dibanting.
Ardila pun lari masuk ke dalam. Ia menangis di bawah kolong meja. Sesaat kemudian, ada ledakan lagi. Dan lagi. "Yang keempat suaranya sangat keras, kuping saya berdenging," katanya.
Tangisnya makin keras. Ia ingin menjerit dan pulang. Tapi apa daya ia tertahan. Hingga jam 20.00 WIB, Ardila baru diizinkan keluar. Ia pulang bersama ayahnya. Sampai di rumah, suami dan keluarganya menyuruhnya untuk berhenti dari pekerjaannya.
Esoknya, ia datang ke kantor pusat perusahaannya untuk bertemu manajernya. Ia serahkan surat pengunduran diri dan langsung pulang. "Mungkin saya mau jadi PNS saja," kata wanita yang baru saja menyelesaikan studi diploma tiganya itu.
MAYA AYU PUSPITASARI