TEMPO.CO, Jakarta – “Selamat datang!” Bung Karno berteriak bersemangat. Sosoknya penuh drama: kedua tangannya terbentang, kakinya terentang, senyumnya mengembang. Dan Edhi Sunarso, seorang pematung muda waktu itu, langsung menangkap momen tersebut. Ia menerjemahkannya ke dalam seni patung, lalu lahirlah patung Selamat Datang yang selama ini tegak di depan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta.
Selamat Datang, patung perunggu, satu lelaki, satu lagi perempuan, membentangkan tangannya. Tangan kiri patung perempuan membawa seikat kembang. Presiden Sukarno yang namanya kerap juga dieja sebagai Soekarno ingin mengekspresikan keramahan bangsa Indonesia yang menyambut kedatangan peserta Asian Games IV di Jakarta, 1962. "Bung Karno selalu begitu. Ekspresif. Kami harus menangkap gerak dinamis itu," tutur Edhi Sunarso.
Pernyataan Edhi ini dikutip Majalah Tempo yang terbit pada 30 Mei 2005 lalu. Pematung Edhi Sunarso meninggal dalam usia 83 tahun. Edhi wafat saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Jogjakarta International Hospital pukul 22.53.
Tradisi menata ruang publik di Jakarta dengan patung tokoh sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda. Sewaktu berkuasa, Gubernur Jenderal Hindia Belanda Jan Pieterzoon Coen, misalnya, memajang patung dirinya di depan kantornya—sekarang Departemen Keuangan. Patung Coen bertahan empat abad dan baru dibongkar pada 1960-an.
Tradisi memajang patung-patung tokoh agak terhenti di zaman Sukarno. Saat itu, patung semacam catatan simbolis terhadap peristiwa-peristiwa penting. Monumen Dirgantara, misalnya, ingin menunjukkan keberanian bangsa Indonesia mengarungi angkasa raya. Namun, akibat ruwetnya penataan kota, patung itu kini terbelit di antara beton-beton jalan.
Sejarah diletakkan di tempat yang istimewa. Untuk mengenang peristiwa pembebasan Irian Barat, Bung Karno kembali meminta Edhi Sunarso membuat tanda kebebasan dengan memasang patung. Kali ini Edhi juga merekam ekspresi Sukarno. "Bebaaaas!" demikian Bung Karno mengungkapkan, kedua tangannya terangkat dan mengepal.
Khusus untuk membuat patung Proklamasi, Bung Karno membentuk tim penyelenggara sayembara. Pemenangnya Gregorius Sidharta Sugiyo, Nyoman Nuarta, dan Y. Sumartono. Mereka bersama-sama membuat patung sang Proklamator, dilengkapi pilar-pilar yang merupakan deformasi bentuk sayap garuda.
Sejumlah karya yang bagus berdiri. Arjuna Wiwaha dengan "pasukan" kudanya di Jalan Merdeka Barat. Monumen Tonggak Samudra karya Sidharta menghiasi kawasan Tanjung Priok. Pematung Rita Widagdo sempat pula memajang karyanya, Dinamika dalam Gerak. Juga Dolorosa Sinaga dengan patung Angkatan 66-nya di depan Hotel Regent. Beberapa karya Sunaryo di antaranya patung Kesetiakawanan Sosial, patung Ikada, juga berbagai patung di Taman Suropati.
Kini sejumlah patung telah menjadi landmark kota. Patung Selamat Datang menandakan kawasan Jalan Thamrin. Patung Pancoran atau Monumen Dirgantara menghubungkan Pasar Minggu, Tebet, dan Cawang. Patung Pak Tani atau patung Pahlawan menjadi salah satu ciri kawasan Menteng. Sedangkan Monumen Nasional (Monas) merupakan kiblat bagi pendatang yang baru tiba di Stasiun Gambir.
Sejak runtuhnya Orde Baru, penataan ruang publik terhenti. Terakhir, pemerintah DKI memesan patung Soedirman kepada Sunaryo. Patung yang penempatannya sempat kontroversial itu diletakkan di kawasan Sudirman. Idenya satu: menandakan nama jalan. Namun, tentu saja, letak sebuah patung lebih dari itu. Menurut Sidharta, patung yang dipajang di ruang publik harus punya makna, perlu mempertimbangkan faktor lingkungan, estetika, dan dimensi ruang untuk publik. "Sekarang banyak pejabat yang tidak tahu seni. Selain itu, master plan-nya sangat pendek," tuturnya.
Pada masa Presiden Sukarno, patung dibuat untuk menggugah semangat nasionalisme dan menampilkan sosok-sosok anonim yang mewakili sekelompok atau seluruh masyarakat. Memang ada pengecualian, seperti patung Kartini hadiah dari pemerintah Jepang waktu itu. Namun, di masa Orde Baru ke atas, patung lebih banyak menonjolkan tokoh. "Sekarang, para pejabat sedang ingin memberikan baktinya. Barangkali satu generasi lagi, tren penokohan itu baru habis. Bila seni rupa kita maju, pasti berubah," tutur Sunaryo.
L.N. IDAYANIE, SUNUDYANTORO