TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tak menduga pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat memaksakan pembahasan revisi Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 pada akhir tahun ini. Pelaksana tugas Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji mengatakan, sebenarnya sudah ada komitmen KPK dengan pemerintah bahwa pembahasan revisi akan dilakukan tahun depan.
"Mengingat tahun ini bukan waktu yang tepat dan tidak kondusif," ujar Indriyanto melalui pesan pendek, Selasa, 1 Desember 2015.
Menurut dia, pemerintah juga berjanji perubahan pasal tetap mengacu pada draf usulan yang telah disiapkan KPK. "Intinya dari KPK. Sudah menjadi komitmen Presiden bahwa UU KPK yang sudah ada tetap dipertahankan eksistensi dan kewenangannya. Sedangkan revisi hanya dalam rangka penguatan saja."
Ada empat poin yang disiapkan KPK untuk dimasukkan saat pembahasan revisi dengan Badan Legislasi DPR. Pertama, adanya Dewan Pengawas, di luar struktur lembaga KPK. Kedua, kewenangan pengangkatan penyelidik/penyidik internal.
Ketiga, penghentian penyidikan/penuntutan atas pertimbangan Dewan Pengawas. "Eksepsional sifatnya, hanya untuk alasan medis yang sudah unfit to stand trial, misalnya stroke permanen, juga meninggal dunia saat berstatus tersangka atau terdakwa," ujarnya.
Keempat, mempertegas kewenangan penyadapan dengan basis Legal by Regulated, sebagai amanat pelaksanaan putusan Mahkamah Konstitusi. "Intinya ini menciptakan 'penguatan' kelembagaan KPK," kata Indriyanto.
Namun kalau dalam perjalanan pembahasan ternyata ada penyimpangan dari empat poin itu, dia menegaskan pemerintah dan KPK sepakat untuk mundur. "Itu yang jadi komitmen kami dan pemerintah. Bahkan ini juga pendapat Presiden yang disampaikan kepada pimpinan KPK."
Revisi Undang-undang KPK sempat mencuat awal Oktober lalu. Saat itu, DPR mengusulkan merevisi beberapa pasal yang dianggap melemahkan KPK. Sebulan kemudian, revisi tersebut muncul lagi yang ditengarai sebagai barter pemerintah yang diwakili Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly untuk meloloskan pembahasan Rancangan Undang-undang Pengampunan Pajak.
Adapun pasal-pasal usulan DPR saat itu, yakni KPK lebih difungsikan untuk pencegahan, bukan pemberantasan korupsi. Kedua, masa tugas KPK dibatasi 12 tahun sejak aturan ini diundang-undangkan. Ketiga, KPK hanya bisa menangani kasus korupsi dengan nilai kerugian minimal Rp 50 miliar. Keempat, mengangkat empat orang dewan eksekutif yang bertugas sebagai pelaksana harian pimpinan KPK.
Kelima, menghapus kewenangan penuntutan. Keenam, penyelidik KPK harus atas usulan kepolisian dan kejaksaan. Ketujuh, penyadapan harus seizin ketua pengadilan negeri. Kedelapan, KPK diberi kewenangan mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3). Dalam undang-undang saat ini, KPK tak boleh mengeluarkan SP3.
LINDA TRIANITA