TEMPO.CO, Jakarta - Dalam sepekan terakhir, nama Ujang Supriadi, 15 tahun, warga Desa Pucung, Kecamatan Kota Baru, Karawang, Jawa Barat, tiba-tiba saja menjadi bahan gunjingan menarik para netizen. Ia menjadi ‘bintang’ di dunia maya setelah rekaman videonya saat bercengkerama dengan Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang menggunakan logat kasar bahasa Sunda diunggah organisasi massa (ormas) Front Pembela Islam (FPI).
FPI melakukan serangan terhadap Dedi karena dia dinilai telah mengingkari komitmennya merawat kebudayaan Sunda. Tapi dalam dialog dengan Ujang, Dedi dianggap telah melecehkan budaya dan bahasa Sunda.
Dalam rekaman video tersebut, Dedi dituding menggunakan bahasa kasar yang tak pantas. Padahal menurut versi FPI, ocehan bahasa seperti itu tidak pantas disampaikan oleh seorang pemimpin yang semestinya menjadi panutan masyarakat.
Setelah melihat langsung rekaman video obrolannya dengan Dedi di Internet karena jasa sejumlah teman mainnya di jalanan, Ujang yang sehari-hari bekerja sebagai pedagang es itu pun merasa perlu meluruskannya. Ia bersama Nira, neneknya, kemarin bertandang ke rumah dinas Bupati Dedi di jalan Gandanegara Nomor 25 Purwakarta, Senin, 30 November 2015.
"Saya ingin meluruskan masalah yang ada di dalam rekaman video itu," kata Ujang. Ia mengaku sama sekali tak merasa terganggu apalagi terhina dengan isi rekaman video yang kini beredar luas di dunia maya. Menurut dia, itu adalah gurauan dengan Bupati, apalagi dia adalah orang jalanan yang tak bisa berbahasa halus.
Ujang bahkan mengaku merasa lebih akrab ketika dibercandai Dedi di sebuah perhelatan safari kebudayaan dengan dialek Sunda kasar. Obrolan dengan bahasa Sunda kasar bagi Ujang terasa lebih mengena ketika dibercandai atau dikata-katai, bahkan saat diberi wejangan oleh Dedi maupun kawan-kawannya. Dia juga mengaku sejauh ini tak mahir berbahasa Sunda yang baik.
"Sewaktu diberikan wejangan Pak Dedi, saya kontan menangis di atas panggung. Saya sangat terenyuh," tutur Ujang dengan mata berkaca-kaca.
Apalagi Ujang juga diberikan uang hadiah Rp 5 juta buat beli dua ekor domba dan menambah modal dagangan neneknya yang kini mengurusnya. Ia mengaku sangat terharu. Uang tersebut, menurut Ujang, membawa berkah bagi jalan hidupnya kemudian. Duit sumbangan dari Dedi tersebut dibelikannya sepasang domba dan yang seekor sudah beranak dua. Sisanya untuk menambah modal usaha neneknya berjualan makanan ringan keliling kampung.
"Ujang juga sekarang enggak kerja serabutan di jalanan lagi. Sekarang sudah menjadi tukang jualan es menetap di sebuah sekolahan di kampung halaman," tutur Ujang.
Bupati Dedi mengaku, jika bertemu anak-anak di mana saja, terutama mereka yang hidup di jalanan, selalu menggunakan dialek sleng atau guyon wayang, lebih tepatnya lagi heureuy Sunda Panturaan yang dinilainya lebih egaliter. "Dan realitanya menghasilkan dialog yang lebih bermanfaat dan terbuka," kata Dedi.
Yang salah itu, Dedi menambahkan, kalau kalimat sakral bahasa Sunda dipelesetkan atau dipermainkan di depan khalayak ramai, seperti yang dilakukan pentolan FPI, Rizieq Shihab. "Salam sampurasun dipelesetkannya jadi campur racun, itu salah besar," ucapnya.
Sebab, sampurasun itu berasal dari kata sampuraning isun yang bermakna doa “Sempurnakanlah diri kalian”. Maka jawabannya adalah rampes, mengiyakan atau mengaminkan.
NANANG SUTISNA