TEMPO.CO, Jakarta - Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya, Desmond Junaidi Mahesa, menilai Mahkamah Kehormatan DPR dan Partai Golongan Karya tak serius mengusut dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua DPR Setya Novanto dalam pertemuan dengan petinggi PT Freeport Indonesia. Hal ini terlihat dari wacana pembentukan Panitia Khusus PT Freeport Indonesia yang digadang-gadang anggota MKD baru dari Partai Golkar.
"Mari sama-sama pertanyakan apa maksud MKD dan Golkar," kata Desmond di Kompleks Parlemen, Senin, 30 November 2015. "Jelas, anggota Golkar yang baru itu orang-orangnya Setnov."
Menurut Desmond, Gerindra mempertanyakan MKD yang tak memulai pemeriksaan dan pemberian sanksi kasus Setya Novanto, yang diduga mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Bahkan, dalam transkrip pembicaraan, Setya menyinggung kemungkinan perpanjangan kontrak perusahaan Freeport yang bukan kewenangannya sebagai Ketua DPR.
"Jadi tak usah berputar-putar mempertanyakan legal standing Sudirman Said sebagai pelapor," ucap Desmond. "Nilai saja itu tindakan pantas atau tidak."
Ia berujar, kasus Freeport sangat mirip dengan pemanggilan sepihak Jaksa Agung Prasetyo oleh Setya Novanto dalam penanganan kasus Victoria Securities. Peristiwa tersebut seharusnya bisa jadi tolok ukur MKD bahwa Setya diduga kerap menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi atau tertentu.
"Gerindra tak mau ikut main-main dalam kasus ini. Sudah jelas ada pelanggaran, kok," ujar Wakil Ketua Komisi Hukum tersebut.
Setelah dimulainya penanganan kasus Freeport, Golkar merombak susunan anggota MKD dari partai berlambang pohon beringin tersebut. Tiga Anggotanya, yaitu Dadang Muchtar, Hardisoesilo, dan Budi Supriyanto, ditarik dan digantikan Ridwan Bae, Kahar Muzakir, serta Adies Kadir--yang kemudian sepakat mengusulkan Pansus Freeport.
FRANSISCO ROSARIANS
Baca juga
Tiga Hal Ini yang Bikin Ketua DPR Setya Novanto Sulit Ditolong!
Penjara Dijaga Buaya: Kenapa Bandar Narkotik Tak Akan Takut?