TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua DPR Fadli Zon menyayangkan rencana pembelian pesawat helikopter kepresidenan jenis AW-10 untuk menggantikan helikopter Super Puma. Pasalnya, helikopter AW-10 itu dibuat produsen luar negeri, yakni AgustaWestland, dari Italia.
"Sebaiknya utamakan produk dalam negeri, kecuali kalau memang sudah tidak ada lagi yang mempunyai kemampuan seperti itu," katanya saat ditemui seusai acara penyerahan tanah wakaf di Pondok Pesantren Darunnajah, Jakarta, Sabtu, 28 November 2015.
BACA: Gaduh Helikopter VVIP, Ini Pengakuan Jujur Presiden Jokowi!
Fadli tidak mempermasalahkan pembelian helikopter baru untuk presiden. Hal ini karena helikopter sebelumnya, Super Puma, yang diproduksi pada 1980, dinilai sudah tidak layak. Namun dia tetap menekankan pada produksi helikopter dalam negeri.
"Kalau di dalam negeri mampu membuat helikopter itu, kenapa tidak memakai produk buatan dalam negeri saja? Beli produk dari dalam negeri dululah,” ujar Fadli, yang juga politikus dari Partai Gerakan Indonesia Raya.
BACA: Duh, Heli AW 101 Untuk Presiden Mudah Jadi Sasaran Tembak
TNI Angkatan Udara, pada Senin lalu, mengumumkan rencana pembelian helikopter AW-101 sebagai pengganti Super Puma, yang telah berumur 25 tahun. Satu unit AW-101 tersebut akan tiba di Indonesia pada 2016, menyusul dua unit lainnya pada 2017.
Sejumlah kalangan mengkritik pengadaan helikopter tersebut. Sebab, bukan hanya tak melibatkan industri dalam negeri, tapi harga helikopter ini dinilai lebih mahal dibanding buatan PT Dirgantara Indonesia (PTDI), yang bermarkas di Bandung.
BACA: Benarkah Heli Jokowi yang dibeli TNI Lebih Boros? Ini Hitungannya
Padahal, selama ini, sejumlah pejabat negara, termasuk Presiden RI, mengunakan helikopter Super Puma. Sedangkan helikopter AW-101 dibuat oleh AgustaWestland, produsen helikopter Inggris yang bermarkas di Italia.
PTDI berpengalaman memproduksi helikopter sejenis, seperti EC 725 Cougar, yang merupakan generasi terbaru Super Puma versi militer. Perubahan tipe helikopter VVIP TNI AU menjadi AW-101 juga dinilai memiliki dasar persyaratan yang tidak jelas.
Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2012 dan Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2014 tentang mekanisme imbal dagang dalam pengadaan peralatan pertahanan dan keamanan dari luar negeri mewajibkan adanya kandungan lokal sedikitnya 35 persen dari nilai kontrak.
BAGUS PRASETIYO TIKA PRIMANDARI MAWARDAH NUR HANIFIYANI
BERITA MENARIK
Curhat Sandy Tumiwa: Tak Punya Rumah, Ditinggal Istri
Penumpang Pesawat Lihat 'UFO' Dekat Pangkalan Militer Nevada