TEMPO.CO, Jakarta - Wakil Ketua Komisi Pertahanan DPR T.B. Hasanuddin mengatakan pembelian helikopter buatan Inggris dan Italia jenis AW 101 melanggar aturan. Karena itu, DPR menolak dan hanya menyetujui pembelian helikopter buatan PT Dirgantara Indonesia (DI).
Pasalnya, pembelian itu tidak sesuai dengan Rencana Strategis 2015-2019. Pembelian juga dinilai merugikan negara dan melanggar UU Nomor 16 Tahun 2012 Tentang Industri Pertahanan Pasal 43 ayat 1.
Hasanuddin mengatakan DPR menyetujui pengadaan helikopter yang diajukan oleh Kementerian Pertahanan. Pengadaan helikopter tertulis dalam Recana Strategis 2009-2014. “Yang disetujui berjumlah 16 unit, terdiri dari helikopter angkut atau SAR dan heli angkut VVIP. Semuanya buatan PT DI,” katanya dalam pesan tertulis pada Jumat, 27 November 2015.
Pembelian 16 unit helikopter dibagi menjadi dua tahap yaitu dalam Renstra 2009-2014 dan Renstra 20015-2019. Dalam tahap pertama, sebanyak 6 unit sudah terbeli. Sisa heli beli dalam tahap kedua.
Dalam pembelian tahap kedua, helikopter yang dibeli berbeda. “Sangat disesalkan kalau kemudian muncul ide mengubah pembelian heli Super Puma produk PT DI menjadi AW 101 buatan Italia dan Inggris,” kata Hasanuddin.
Rencananya satu unit AW 101 akan tiba di Indonesia pada April 2016. Perubahan tersebut, menurut dia, merugikan PT DI. Sebabnya, perusahaan BUMN tersebut sudah terlanjur melakukan investasi untuk membuat 10 heli yang batal dibeli.
Hasanuddin mengatakan, Alat Peralatan Pertahanan dan Keamanan (Alpalhankam) haruslah produk buatan dalam negeri. Peraturan tersebut tertera dalam Pasal 43 Ayat 1 UU No. 16 Tahun 2012 tentang Industri Pertahanan. Produk luar negeri baru dapat digunakan jika Alpalhankam belum atau tidak bisa dibuat di dalam negeri, seperti di atur dalam ayat 5 dalam Undang-undang di atas.
Menurut Hassanudin, kebijakan mengganti Super Puma dengan AW 101 tidak mudah. AgustaWestland sebagai perusahaan pembuat AW 101 harus menggandeng industri dalam negeri. Aturan tersebut diatur dalam Pasal 43 Ayat 5. “Untuk itu semua, harus mendapat izin dari Presiden sebagai Ketua KKIP sesuai Pasal 22 dalam Undang-Undang Industri Pertahanan,” katanya.
Hasanuddin mengatakan, segera mengadakan pertemuan dengan Kementerian Pertahanan dan TNI AU terkait dengan pembelian helikopter AW 101 tersebut. DPR akan mencari tahu alasan pembatalan pembelian dan penggantian helikopter buatan PT DI. “Padahal dengan membeli dari PT DI, 30 persen uang rakyat akan kembali ke negara. Setidaknya dalam bentuk pembelian bahan baku lokal dan 700 teknisi bisa melanjutkan hidup,” katanya.
DPR juga secepatnya melakukan investigasi harga pasaran helikopter AW 101. Sebabnya, bandrol helikopter yang memiliki tiga mesin dinilai terlalu mahal. “Satu unit AW 101 seharga US$ 55 juta itu diperkirakan sangat mahal,” kata Hasanuddin. DPR juga akan menanyakan izin Ketua KKIP mengenai pembelian helikopter AW 101.
VINDRY FLORENTIN