TEMPO.CO, Bandung — Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme Komisaris Jenderal Saud Usman Nasution mengatakan sejak 1999 hingga 2015, tim khusus antiteror Indonesia menghadapi 786 kasus. Teror tersebut berupa pengeboman dan penculikan. “Yang belum terungkap ada dua, bom di ITC Depok dan pelaku Bom Bali I Zulkarnaen,” katanya pada kuliah umum di Universitas Langlangbuana, Bandung, Kamis, 26 November 2015.
Bom di ITC Depok pada Februari 2015, kata Saud, merupakan bom klorin seperti yang ditemukan di Suriah. Adapun Zulkarnaen, pelaku Bom Bali I, sampai kini tidak diketahui jejaknya. “Entah masih ada atau tidak,” katanya.
Pada kurun 1999-2015, total yang ditangkap 1.062 orang terkait dengan gerakan radikalisme. Sebanyak 247 Orang masih mendekam dalam 50 penjara di 13 provinsi. “Sekitar 700 orang lebih sudah selesai menjalani hukuman,” katanya. Dari kasus terorisme tersebut, 12 orang merupakan pelaku bom bunuh diri, dan empat orang lainnya pelaku bom bunuh diri di Suriah.
Menurut Saud, akar masalah radikalisme utamanya karena dendam dan kebencian, ketidakadilan, jurang sosial, dan kemiskinan. Teror di Indonesia juga tak lepas dari situasi gejolak dunia, seperti invasi Irak oleh Amerika Serikat dan sekutunya, invasi Palestina oleh Israel dan pendukungnya, juga perburuan Al-Qaeda, serta tekanan pemerintah terhadap pemberontak Filipina selatan.
Terhadap pelaku teror di Indonesia, BNPT selain membimbing para tahanan terkait dengan kasus terorisme, meminta pemerintah untuk membangun kembali tempat-tempat ibadah yang rusak akibat konflik dan teror agar tak menjadi dendam berkepanjangan.
Khusus bagi kalangan mahasiswa, Saud mengatakan pentingnya deteksi dini di lingkungan kampus. “Kalau ada perilaku aneh kawan yang merasa paling benar dalam ibadah dan menyebut yang lain kafir, perlu diperhatikan,” ujarnya. Ia juga meminta mahasiswa untuk melaporkan orang yang seperti itu ke petugas keamanan untuk diawasi.
ANWAR SISWADI