TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Setya Novanto tak membantah dia pernah mengadakan pertemuan dengan pimpinan PT Freeport Indonesia. Dalam pertemuan itu, menurut Setya, mereka mendiskusikan program-program Freeport, termasuk perpanjangan kontrak.
"Saya pernah kedatangan beliau (bos Freeport) minta penjelasan, di kantor kami. Ia juga menjelaskan program-program ke depan, dan beliau pun minta tolong bagaimana itu (perpanjangan kontrak) bisa diberikan," ujar Setya Novanto di Kompleks Parlemen Senayan pada Selasa, 17 November 2015.
Namun politikus Partai Golkar ini menampik perihal pencatutan nama Presiden Joko Widodo dalam pembicaraan yang melibatkan dirinya, bos Freeport, dan salah satu pengusaha terkenal yang disebut-sebut adalah MRC. Menurut dia, presiden dan wakil presiden adalah simbol negara yang harus dihormati.
"Khusus dengan Freeport ini sangat berkaitan dengan bagi hasil, CSR (corporate social responsibility) untuk kepentingan rakyat, dan juga khususnya buat rakyat Papua. Jadi, menurut saya, kami juga tidak akan membawa nama-nama yang bersangkutan dan juga saya harus berhati-hati, dan harus menyampaikan secara jelas apa yang telah disampaikan Presiden kepada saya," kata Setya Novanto.
Kemarin, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melapor ke Mahkamah Kehormatan DPR terkait dengan adanya anggota parlemen yang mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla terkait dengan perpanjangan kontrak Freeport. Setya Novanto disinyalir mencatut nama Presiden dan Wakil Presiden untuk kepentingan pribadi.
Menurut Sudirman, Setya Novanto diduga menjanjikan perpanjangan kontrak lebih awal dari waktu yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 77 Tahun 2014, yakni pada 2019. Sebagai imbalannya, ia meminta Freeport memberinya saham sebanyak 20 persen. Kepada bos Freeport, Setya Novanto mengatakan akan membagi 11 persen saham tersebut kepada Presiden dan sisanya 9 persen akan diberikan kepada Wakil Presiden.
Selain itu, kata Sudirman, Setya meminta saham sebesar 49 persen dalam proyek listrik yang dibangun di Timika, dan 51 persen saham sisanya dipegang oleh Freeport—yang sekaligus bertindak sebagai off taker atau pembeli tenaga listrik yang dihasilkan dari proyek tersebut.
DESTRIANITA K.