TEMPO.CO, Surabaya - Pembatalan diskusi bertema” The Right of Minorities in a Globalizied World” di Brawijaya International Youth Forum 2015, 11-12 November 2015, amat membekas bagi Dede Oetomo, sosiolog yang juga pendiri Gaya Nusantara, sebuah komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). Dede sejatinya termasuk di antara narasumber dalam diskusi itu bersama sejumlah orang lainnya dari kalangan kampus, pemerintah, dan PWNU.
Acara itu sejatinya digelar Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Pemerintahan Universitas Brawijaya, Malang. "Tapi, pembatalan yang terjadi mencerminkan bahwa pimpinan universitas tidak punya keberanian untuk menjaga kebebasan akademik," kata Dede ketika dihubungi, Jumat, 13 November 2015.
Dede menyebutkan sikap itu merupakan bigotry (fanatisme). “Pokoknya, golongan saya paling benar dan cuma golongan saya yang boleh bicara," katanya. Sikap yang menganggap golongan lain tidak boleh bunyi, menurut dia, sudah dipraktekkan di masa pemerintahan Orde Baru.
Dede mengatakan, sejak dulu, pemerintah menerapkan pola itu. Pada umumnya, pemerintah tak bisa melindungi kaum minoritas yang diancam oleh warga lain, sedangkan aparat penegak hukum tak bisa berbuat apa-apa. “Itu sifatnya otoritarisme dan sebenarnya bukan barang baru."
Menurutnya, tak hanya isu LGBT saja yang menjadi sasaran. Namun juga topik-topik yang dianggap tabu, seperti peristiwa G30S 1965, Tan Malaka, dan lain-lain. “Dalam beberapa tahun, ada pressure pembatalan acara-acara akademik. Padahal saya termasuk orang yang percaya bahwa masyarakat akademika adalah mutlak, tidak bisa diganggu gugat,” kata Dede.
Baca Juga:
Rencananya, Dede didaulat menjadi salah satu pembicara yang mewakili LGBT. Sejumlah tokoh juga diminta menjadi narasumber, di antaranya Direktur Jenderal Hak Asasi Manusia Kementerian Luar Negeri Dicky Komar; perwakilan UNDP, Hendry Yulius Wijaya; pengajar Universitas Frankfurt Frank Large; dan Wakil Sekretaris PWNU Ahmad Rubaidi.
BEM FISIP Universitas Brawijaya, Malang, akhirnya membatalkan kegiatan Brawijaya International Youth Forum 2015 lantaran teror yang dialami penyelenggara. Bunyi pesan pendek dan telepon itu meminta acara dibatalkan. “Jika tidak, ada kelompok yang mengancam akan membubarkan," kata juru bicara panitia, Teuku M. Farhan Alqifari, Jumat, 13 November 2015.
ARTIKA RACHMI FARMITA