TEMPO.CO, Jakarta - Pakar gempa dari Institut Teknologi Bandung (ITB), Sri Widiyanto, mengatakan potensi gempa yang lebih besar pascagempa Yogyakarta pada Rabu, 11 November 2015, tidak bisa diprediksikan. "Belum bisa diprediksi, paling tidak saya tidak bisa memprediksinya," katanya saat dihubungi, Kamis, 12 November 2015.
Menurut Widiyanto, gempa di Yogyakarta kemarin berbeda dengan gempa yang terjadi pada 2006. "Kalau yang terjadi di sesar Opak itu adalah aftershocks dari gempa pada 2006," ujarnya.
"Kalau gempa kemarin itu tidak ada hubungannya atau tidak berhubungan langsung dengan gempa-gempa di sesar Opak (patahan sepanjang 40 kilometer di daerah Bantul). Ini kejadiannya di laut akibat aktivitas subduksi lempeng Samudera Hindia," katanya.
Terkait dengan rentetan gempa beberapa waktu terakhir, di Mandailing Natal, Alor, dan Yogyakarta, ia mengatakan gempa dengan magnitudo di bawah 6 memang sering terjadi di wilayah Indonesia. Tapi, menurut dia, gempa-gempa tersebut belum tentu berhubungan. "Gempa satu dengan yang lain tidak mesti berhubungan," ucapnya.
Ia mengatakan siklus gempa besar di Sumatera dengan magnitudo 9 berlangsung 150 tahunan. Di daerah Kanto, Jepang, siklusnya sekitar 100 tahunan.
Ia mengatakan gempa dengan magnitudo 5,6 SR termasuk gempa yang kecil jika dibandingkan dengan gempa Sumatera pada 2004. "Tetapi bukan berarti skala 5,6 tidak bisa merusak. Kalau sumbernya dangkal dan terjadi di bawah tanah, tentu akan sangat berbahaya," katanya.
Gempa kembali dirasakan warga Yogyakarta pada Rabu, 11 November 2015. Guncangan terjadi sekitar pukul 18.45 WIB. Gempa itu berpusat di selatan Pulau Jawa berjarak 120 kilometer barat daya Bantul dengan kedalaman 93 kilometer.
ARKHELAUS WISNU