TEMPO.CO, Surabaya - Kelompok Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Jawa Timur menyatakan tidak puas dengan pengusutan kasus kematian Salim Kancil dan praktek tambang pasir liar di Kabupaten Lumajang, Jawa Timur. Mereka menyatakan sedang mempersiapkan langkah untuk meminta kasus diambil alih Markas Besar Polri.
Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur Ony Mahardika mengatakan mengapresisiasi proses hukum yang dilakukan Kepolisian Daerah Jawa Timur dan Kejaksaan Negeri Lumajang. Namun, menurutnya, saksi yang diperiksa lemah sehingga keterangan yang didapat tidak kuat.
"Kemungkinan kami akan ke sana (Markas Besar Polri di Jakarta) dalam minggu ini," kata Ony, Jumat 6 November 2015.
Ony mengungkap harapannya, kasus Salim Kancil dituntaskan sampai ke akar masalah. Itu artinya, dia menambahkan, pemeriksaan terkait penambangan illegal tidak hanya dilakukan di sekitar Pantai Watu Pecak, di desa Salim Kancil, yakni Selok Awar-awar Kecamatan Pasirian.
"Tetapi juga seluruh wilayah di Lumajang dan diperiksa pula para penadah yang menerima aliran pasir tersebut."
Walhi menyebut pasir asal Lumajang merupakan pasir nomor satu untuk konstruksi bangunan. Harga jualnya tinggi. Satu truk pasir di Lumajang seharga Rp 400 ribu, tapi setelah sampai di Surabaya melonjak sampai Rp 1,2 juta. "Harganya mahal sehingga jadi rebutan," kata DOny.
Adapun kematian Salim dipicu oleh penolakannya atas keberadaan dan aktivitas tambang pasir ilegal di desanya itu. Dia dan satu warga lainnya yakni Tosan (korban luka-luka) dikeroyok dan dianiaya pada 26 September 2015.
SITI JIHAN SYAHFAUZIAH