TEMPO.CO, Jakarta - Dua mahasiswa Universitas Ibnu Chaldun Jakarta mencabut gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dalam perkara Nomor 127/PUU-XIIII/2015. Keduanya merasa tak lagi memiliki legal standing karena Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi telah mencabut status nonaktif Universitas Ibnu Chaldun Jakarta.
"Setelah mempertimbangkan saran dan pertimbangan rektorat, pemohon mencabut permohonan yang didaftarkan 13 Oktober lalu," kata mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Ibnu Chaldun Jakarta, Solihin, dalam persidangan, Kamis, 6 November 2015.
Awalnya, Solihin, dan mahasiswa Fakultas Ilmu Komunikasi, Muhammad Hafidz, menggugat Pasal 92 ayat (1) Undang-Undang Pendidikan Tinggi yang mengatur soal penetapan sanksi nonaktif bagi universitas yang melanggar ketentuan administratif. Pasal tersebut dinilai melanggar konstitusi para mahasiswa karena berimbas penghentian hak pendidikan dan merusakan citra peserta didik setelah lulus.
Menurut Solihin, sanksi dalam Pasal 29 ayat (1) justru lebih merugikan mahasiswa dibandingkan perguruan tinggi sebagai institusi yang melakukan pelanggaran administrasi. Sehingga, dalam petitum, kedua pemohon meminta MK memberikan penafsiran, Pasal 92 ayat (1) hanya dapat diterapkan sejauh sanksi tak merugikan hak peserta didik.
"Kemenristek Dikti telah mengaktifkan lagi pada 15 Oktober 2015, sehingga pemohon tak punya kedudukan hukum lagi melanjutkan permohonan," kata Solihin.
Ketua panelis hakim, Arief Hidayat, menyambut positif penarikan permohonan Solihin cs. Ia juga mengapresiasi keduanya karena masih mau hadir dalam persidangan meski sebelumnya telah mengajukan surat pemberitahuan pencabutan gugatan. "Saya akan laporkan kepada pleno rapat permusyawaratan hakim," kata Arief.
Kemenristek Dikti, dalam situs forlap.dikti.go.id per 12 Oktober 2015, telah menetapkan status nonaktif pada 221 perguruan tinggi swasta, salah satunya Universitas Ibnu Chaldun Jakarta. Alasan penetapan status nonaktif, menurut Direktorat Jenderal Kelembagaan Kemenristek Dikti, antara lain perguruan tinggi tak melaporkan data selama empat semester berturut, memiliki rasio tak seimbang antara mahasiswa dan dosen, melaksanakan pendidikan luar kampus tanpa izin, dan memiliki sengketa yayasan.
FRANSISCO ROSARIANS