TEMPO.CO, Jakarta - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) bersama International NGO Forum (INFID), Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), serta Kementerian Hukum dan HAM akan menyelenggarakan Konferensi Nasional Kota Ramah HAM (Human Rights City) di Jakarta pada 25-26 November mendatang. Konferensi ini akan dihadiri kepala daerah, bupati, dan wali kota sebagai ajang pertemuan dan tukar pikiran untuk menciptakan kota ramah HAM.
Menurut Komisioner Komnas HAM Muhammad Nurkhoiron, kegiatan ini adalah bentuk kampanye implementasi HAM yang sudah menjadi komitmen global dalam menciptakan Human Rights City. "Implementasi HAM perlu didorong bukan hanya dari kewenangan pemerintah pusat, tapi perlu ada inisiatif dari pemerintah lokal yang proaktif mengimplementasikannya," kata Nurkhoiron di kantor Komnas HAM Jakarta, Rabu, 4 November 2015.
Keberadaan otonomi daerah memberikan kekuasaan otonom agar setiap daerah berinisiatif mengambil kebijakan baru yang berdampak langsung kepada publik. "Peran dan komitmen pemerintah daerah, wali kota, bupati, sangat penting untuk menegakkan prinsip dan norma HAM," ujarnya. (Lihat video Batasi Kebebasan, Komnas HAM Minta Polri Tarik Edaran Kebencian)
Berdasarkan data laporan pengaduan ke Komnas HAM, pemerintah daerah menempati posisi ketiga sebagai pihak yang dilaporkan atas kasus pelanggaran HAM. "Kami berkepentingan untuk mendorong pemimpin daerah memiliki komitmen ini," tuturnya.
Deputi Sumber Daya HAM ELSAM Zainal Abidin berharap konferensi ini dapat dijadikan ajang sharing knowledge pemerintah daerah yang telah sukses berkomitmen menjaga kota ramah HAM. Sejauh ini daerah percontohan untuk kota ramah hak asasi manusia adalah Palu dan Wonosobo.
"Agar kota-kota yang punya problem HAM punya jalan keluar dalam menghadapi konflik. Akan ada ahli juga untuk mengatasi masalah perkotaan, seperti cara membangun infrastruktur yang ramah HAM," ucapnya.
Konferensi ini juga bermanfaat dalam mengatasi persoalan untuk menghilangkan batasan minoritas dan mayoritas. Ia juga berharap konferensi ini menjadi alternatif dalam mengatasi problem HAM yang selalu bermuara ke pemerintah pusat.
"Seperti kasus Tolikara dan Singkil. Kalau mampu diselesaikan tingkat lokal, tentu berimplikasi persoalan akan cepat selesai. Selama ini persoalan bermuara ke pusat dan tidak selesai," katanya.
ARKHELAUS WISNU