TEMPO.CO, Jakarta -Indonesia tahun ditunjuk sebagai Ehrengast atau The Guest of Honour alias Tamu Kehormatan dalam Frankfurt Book Fair (FBF) 2015 yang digelar sukses pada Oktober lalu. Sebuah pencapaian yang layak dicatat, apalagi Indonesia hanya memiliki waktu persiapan selama dua tahun—bandingkan dengan negara lain yang butuh 5-8 tahun. Sebagai Tamu Kehormatan, Indonesia mengusung tema "17.000 Islands of Imagination".
Budayawan Goenawan Mohamad, Ketua Komite Nasional untuk FBF 2015 punya banyak cerita soal persiapan Frankfurt Book Fair. Goenawan menggantikan Agus Maryono yang sudah bekerja sejak 2013, tapi mengundurkan diri pada tahun ini.
Persiapan yang amat singkat dan kekakuan birokrasi merupakan hal besar yang mesti diatasi Komite Nasional Frankfurt Book Fair. Beruntung Goenawan bisa mengandalkan timnya. “Mereka kerja full time. Kami kerja tujuh hari (dalam sepekan) dan 24 jam (dalam sehari),” kata Goenawan. Berikut petikan wawancaranya dengan tim dari Koran Tempo, Ali Nur Yasin, Iqbal Muhtarom, dan Anisatul Umah di Yogyakarta, Rabu lalu.
Anda sempat tak setuju Indonesia jadi tamu kehormatan Frankfurt Book Fair?
Karena persiapannya terbatas. Saat rapat-rapat, pejabat dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tak ada yang datang. Beberapa penerbit juga ragu karena kita biasanya hanya membeli copyright dan bukan menjual. Waktu itu saya bilang, berikan saja kepada Malaysia.
Lalu bagaimana sampai Anda ditunjuk jadi Ketua Komite Nasional?
Pada 2013 saya diminta wakil presiden saat itu, Pak Boediono, ikut rapat pembentukan Komite Nasional. Pada tahun itu, baru ditandatangani MoU dengan Direktur Frankfurt Book Fair. Kita hanya punya waktu dua tahun untuk persiapan. Saat itu Ketua Komite Nasional-nya adalah Pak Agus Maryono, insinyur lulusan Jerman yang ahli tentang sungai. Saya mengatakan tak mau jadi ketua, juga tak mau menjadi Ketua Komite Buku. Kenapa? Karena saya pengarang, nanti pasti dianggap mementingkan diri sendiri. Saya hanya minta menteri-menteri tidak usah dilibatkan dalam Komite. Tim ini dibentuk untuk membantu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Jadi ini adalah proyek Kementerian.
Kapan Anda ditunjuk menggantikan Pak Agus Maryono?
Pada 2015 Mas Agus mundur dari Ketua Komite dan minta saya menggantikan dia. Menteri Pendidikan Anies Baswedan yang menandatangani karena sudah ada pergantian kabinet. Kami bekerja tanpa anggaran, jadi pakai anggaran rutin dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Apa saja yang disiapkan oleh tim Anda?
Ada road map, namanya Jalan Menuju Frankfurt. Pertama, Indonesia harus tampil di Leipzig, sebuah pameran buku terbesar kedua di Jerman. Saat itu kami mendatangkan Ahmad Tohari. Waktu itu buku Laksmi Pamuntjak (Amba) sudah disebarkan. Lalu ada sedikit pertunjukan, kuliner, dan galeri. Setelah itu, ikut pameran buku anak-anak. Lalu ikut pameran buku di London. Itu semua harus dilakukan demi mempromosikan Indonesia. Semua dalam waktu sangat singkat dan butuh biaya untuk menyewa tempat, mendatangkan orang, bikin katalog, bikin acara. Nah, setelah itu, kami mulai persiapan ke Frankfurt.
Kabarnya anda sempat marah karena anggaran susah cair?
Karena memang pemerintah tak ada uang pada Januari-Februari 2015. Untuk penerjemahan, pemerintah hanya menganggarkan Rp 150 ribu per halaman, padahal tarif internasional Rp 480 ribu per halaman. Ya, enggak ada yang mau. Penerjemah dari Jerman banyak yang mengundurkan diri. Kita ini ibarat mau beli Mercedes tapi pakai harga Kijang. Bahasa Indonesia tidak dikenal. Penerjemah bahasa Indonesia yang bagus tak sampai 40 orang, padahal waktunya sudah mepet dan penerjemahan sastra itu perlu waktu setidaknya satu tahun. Strategi kita berbeda dengan Cina. Mereka menulis sendiri, kemudian diterbitkan sendiri. Tetapi, kalau caranya begitu, buku kita tidak akan laku, karena enggak ada promosi.
Jadi Menteri, Anies Baswedan tak bisa ubah anggaran lebih cepat cair? Dia kan baru menjabat, sementara program sudah jalan. Jadi memang tidak bisa diubah. Anggarannya sudah ditetapkan di masa Menteri Muhammad Nuh. Aturan pemerintah dan birokrasi (dalam pencairan anggaran) masih kaku. Misalnya, kita menyewa tim public relations. Mereka berbulan-bulan belum dibayar sampai kami mau diancam—tapi belum sampai disomasi. Untung bisa dibujuk.
Berapa totalnya?
Tahun 2014, bujetnya sekitar Rp 147 miliar. Pemerintah yang menetapkan anggarannya. Jadi, bukan kami yang mengajukan. Program yang kami susun menyesuaikan dengan bujet pemerintah.
Tak mencari sponsor?
Waktu itu saya mau cari sponsor, tapi dibilang jangan. Sebenarnya tidak perlu sponsor memang, kalau pembayarannya lancar. Saya terpaksa nombokin. Saya juga minta bantuan teman-teman untuk nombokin.
Berapa biaya untuk sewa paviliun?
Sekitar Rp 19 miliar, tapi ini proyek sekali seumur hidup. Ini ibarat kita ikut Olimpiade. Saya bersyukur menjadi bagian dari sejarah ini.
BACA LANJUTANNYA:
Kata Goenawan Mohamad : Mengapa Banyak Cerita 1965 di Frankfurt Book Fair
TIM TEMPO