TEMPO.CO, Mojokerto - Kebakaran di Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur, mengancam habitat satwa langka yang dilindungi dan hidup di gunung setempat.
“Satwa yang dilindungi dan hidup di Penanggungan itu adalah lutung dan kijang,” kata Kepala Resor Konservasi Wilayah (RKW) 09 Mojokerto Eko Setyo Budi, Senin, 26 Oktober 2015. RKW 09 Mojokerto berada di bawah Seksi Konservasi Wilayah III Surabaya Balai Besar Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Jawa Timur.
Dari pantauan petugas BKSDA setempat, hingga kini belum ada indikasi satwa dilindungi yang mati karena kebakaran. Petugas juga memantau pergerakan satwa jika memang terancam kebakaran atau kekurangan makanan akibat musim kemarau.
“Belum ada laporan dari warga. Kalau mereka terancam karena kebakaran atau kemarau, biasanya turun ke pemukiman warga untuk mencari perlindungan atau makanan,” kata Eko.
Menurut Eko, jumlah lutung Jawa yang ada di Penanggungan masih cukup banyak. “Namun yang langka adalah kijang yang diperkirakan hanya tinggal lima ekor,” ujarnya.
Meski terjadi setidaknya tujuh kali kebakaran dalam skala besar di Penanggungan dalam bulan ini, Eko menambahkan belum ada laporan satwa yang turun ke pemukiman warga. “Kemungkinan di atas masih ada kawasan hutan yang lebat dan aman bagi mereka,” ucap Eko.
Pengelola posko pintu pendakian Gunung Penanggungan di Desa Tamiajeng, Kecamatan Trawas, Mojokerto, Khoirul Anam, mengatakan lahan yang terbakar di Penanggungan pada Sabtu, 24 Oktober 2015, diperkirakan mencapai 200 hektar. “Yang terbakar itu padang rumput dan tanaman kaliandra,” kata pria yang akrab disapa Anam ini.
Pengelola posko pendakian dari Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) Sumber Lestari, Desa Tamiajeng, bersama relawan dan petugas Perhutani bahu membahu memadamkan kebakaran yang membuat tiga pendaki terjebak dan bertahan di puncak gunung.
“Petugas di posko selalu memonitor, jika terlihat titik api, petugas ke atas untuk memadamkan secara manual dengan ranting pohon,” kata Anam yang juga Sekretaris LMDH Sumber Lestari.
Menurut Anam, penyebab kebakaran selama ini kebanyakan bukan karena faktor alam atau ulah pendaki. “Kebanyakan dibakar untuk pembukaan lahan pertanian oleh warga,” katanya.
Indikasi itu bisa dilihat dari awal mula titik api yang berasal dari lahan yang berbatasan dengan pemukiman warga, baik di wilayah Mojokerto maupun Pasuruan. “Awal titik api bukan dari jalur pendakian,” kata Anam.
ISHOMUDDIN