TEMPO.CO, Parepare - Kepolisian Resor Kota Parepare, Sulawesi Selatan, segera menyita rumah milik Imran Rusadi, salah seorang tersangka kasus korupsi dana rehabilitasi 37 gedung sekolah dasar di Parepare. “Diperkirakan pekan depan sudah bisa dilakukan penyitaan, kami hanya menunggu izin pengadilan,” kata Kepala Satuan Reserse dan Kriminal Polres Parepare Ajun Komisaris Nugraha Pamungkas, Jumat, 23 Oktober 2015.
Rumah berlantai dua berarsitektur minimalis itu berlokasi di Jalan Industri Kecil di Kelurahan Bukit Indah, Kecamatan Soreang, Kota Parepare. Didominasi warna hijau dengan pagar tinggi sekitar dua meter. Saat ini tidak berpengguni. “Kami memiliki bukti, seperti IMB dan beberapa surat lainnya, rumah itu dibangun 2012 saat proyek rehabilitasi dilakukan,” ujar Nugraha.
Menurut Nugraha, rencana penyitaan rumah tersangka dilakukan setelah penyidik Polres Parepare mengembangkan penyidikannya. Tidak hanya berkaitan dengan tindak pidana korupsi, tapi juga tindak pidana pencurian uang (TPPU).
Nugraha menjelaskan, guna memperkuat penyidikan terkait TPPU, Polres Parepare sudah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Polres juga sudah memblokir 18 rekening. Empat di antaranya atas nama empat tersangka dalam kasus, yang lazim disebut korupsi dana block grand itu. “Rekening lain atas nama beberapa orang, yang duga dipinjam namanya oleh tersangka, sehingga akan kami periksa sebagai saksi,” ucapnya.
Nugraha mengatakan 18 rekening itu tersebar di sejumlah bank. 7 di antaranya di BNI, 5 di BRI, 4 di BCA, serta Danamon dan Mandiri masing-masing 1 rekening. Polres meminta PPATK mengusut aliran dana dari rekening-rekening itu.
Adapun Empat tersangka dalam kasus itu, selain Imran Rosadi adalah Damrah, Baso Hurman dan Dede. Imran, Damrah dan Baso merupakan staf Dinas Pendidikan Kota Parepare. Sedangkan Dede disebut-sebut sebagai calo proyek di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dedelah yang menjadi penghubung antara pejabat Dinas Pendidikan Kota Parepare dengan pejebat Kementerian sehingga mendapatkan dana proyek senilai Rp 12 miliar pada 2012.
Dalam pelaksanaan rehabilitasi, di bawah koordinasi Dinas Pendidikan Kota Parepare, ditemukan sejumlah penyimpangan. Jatah setiap sekolah Rp 300 juta hingga Rp 400 juta tidak utuh karena terjadi pemotongan.
Selain itu, rehabilitasi yang seharusnya dilakukan secara swakelola, ditangani kontraktor yang ditunjuk pimpinan Dinas Pendidikan. Berdasarkan hasil audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan terjadi kerugian negara Rp 1,9 miliar.
Berkas perkara kasus itu sudah tiga kali bolak-balik antara penyidik Polres dan penyidik Kejaksaan Negeri Parepare. “Untuk ketiga kalinya kami sudah limpahkan kembali ke kejaksaan, termasuk pengembangan tindak pidana pencucian uang,” tutur Nugraha.
Imran membantah rumahnya yang akan disita itu ada kaitannya dengan proyek rehabilitasi sekolah. Tanahnya dibeli jauh hari sebelum ada proyek. Begitu juga pembangunan rumah yang dilakukan secara bertahap. “Kalau tetap disita, saya akan buka fakta-fakta baru. Saya hanya pegawai kecil golongan II,” katanya, sembari menjelaskan apa yang dilakukannya saat proyek itu berlangsung semuanya atas izin dan perintah Kepala Dinas Pendidikan.
Kepala Dinas Pendidikan saat itu adalah Mustafa Mappangara, yang sekarang menjabat Sekretaris Daerah Kota Parepare. sejak kasus itu mencuat sulit dimintai konfirmasi. Dicari di kantornya tidak bisa ditemui. Dihubungi melalui telepon seluler tidak direspon. Kalaupun dijawab, dia beralasan sedang sibuk rapat. Saat ditemui di sebuah rumah makan, Mustafa enggan bicara kasus itu dan mengalihkan pembicaraan ke masalah lain.
DIDIET HARYADI SYAHRIR