TEMPO.CO, Jakarta- Anak dan balita pengungsi korban pembakaran Gereja Singkil, yang kabur pascaterjadi bentrokan saat massa membakar gereja di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah dan di Desa Dangguran, Kecamatan Simpang Kanan, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh, kekurangan susu dan bahan makanan pada Kamis, 15 Oktober 2015
Pendeta Gereja Protestan, Pakpak Dairi, di Kabupaten Aceh Singkil, Ende Beurutu mengatakan para pengungsi membutuhkan sejumlah kebutuhan untuk anak dan balita. Saat ini, pengungsi menempati Desa Saragih, Kecamatan Manduamas Tapanuli Tengah dan Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar Kabupaten Pakpak Bharat, berbatasan dengan Kota Sublussalam, Provinsi Aceh.
“Kebutuhan anak dan balita kurang, logistik lain juga sudah menipis karena mereka pergi tanpa membawa bahan makanan,” ujar Ende kepada Tempo, Kamis, 15 Oktober 2015.
Ende mengatakan kondisi para pengungsi hingga saat ini tidak terkordinasi dalam satu gedung. Mereka terpencar di gereja, rumah sekolah, aula, dan rumah penduduk. Kebutuhan makan pun masih ditangani secara manual, belum dibuat dapur umum.
Jumlah pengungsi di Desa Saragih, Kecamatan Manduamas, Tapanuli Tengah, kata Ende, berjumlah sekitar lima ribu orang. Sementara Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar Kabupaten, Pakpak Bharat sekitar 2.000 orang. Namun, jumlah ini belum dapat terverifikasi kebenarannya.
Sementara sejumlah media menyebutkan perkiraan pengungsi hingga hari kedua pascabentrokan berkisar 4.000 orang.
Pascabentrokan, Selasa, 13 Oktober 2015, ribuan warga Nasrani yang menempati Kabupaten Aceh Singkil terus meninggalkan tempat untuk mengungsi ke wilayah Sumatera Utara. “Memang, warga masih ada yang bertahan di Desa, tapi mereka masih trauma dan tidak berani keluar,” ucap Ende.
IMRAN MA