TEMPO.CO, Sidoarjo- Penjual pasir di Sidoarjo, Jawa Timur, dalam beberapa pekan belakangan ini mengaku kesulitan mendapat bahan baku pasir pascatragedi penganiayaan dan pembunuhan dua aktivis tambang Lumajang, Salim Kancil dan Tosan. Akibatnya, mereka tidak bisa memenuhi permintaan pasar.
Arif Ferdiansyah, 38 tahun, salah satu penjual pasir di Jalan Lingkar Timur Sidoarjo mengatakan, selain didatangkan dari Pasuruan dan Mojokerto, stok pasir yang dijual di Sidoarjo berasal dari Lumajang.
"Pasir Lumajang memang kualitasnya bagus," kata Arif, Selasa, 13 Oktober 2015.
Sejak stok pasir dari Lumajang tidak ada, Arif mengaku omzet penjualannya turun hingga 50 persen. Sebelumnya, dalam sehari ia bisa menyetok 30 rit. Namun, sekarang hanya 15 rit. "Turun bukan karena tidak ada pembeli, tapi stoknya langka," ujarnya.
Harga pasir dari Lumajang dijual Rp 160 –170 ribu per kubik. Sementara, pasir biasa dari luar Lumajang hanya berkisar Rp 100 – 110 ribu.
"Terpautnya memang jauh karena pasir dari Lumajang terkenal kualitasnya bagus untuk campuran bahan cor bangunan."
Hal yang sama dirasakan pemilik toko bangunan UD Sari Bumi Jaya 1, Abdul Fatah. "Sebelum targedi Lumajang saja sudah sulit, apalagi setelah kejadian," ujar Fattah yang juga mengaku kelangkaan pasir membuat omzetnya turun. Sebab, banyak pembeli yang urung membeli bahan bangunan karena bahan baku pasir tidak ada.
Tragedi penganiayaan dan pembunuhan dua aktivis tambang, Tosan dan Salim Kancil, terjadi pada 26 September 2015, setelah keduanya menolak aktivitas penambangan pasir di desanya, yakni di kawasan Pantai Watu Pecak, Desa Selok Awar-awar, Kecamatan Pasirian, Kabupaten Lumajang.
Penambangan di kawasan itu dinilai ilegal dan merusak lingkungan. Pascatragedi itu, polisi menutup aktivitas penambangan pasir di kawasan yang dikenal sebagai penyetok pasir di sejumlah daerah tersebut. Selain itu, di sejumlah daerah, juga dilakukan razia terhadap penambangan liar.
NUR HADI