TEMPO.CO, Bandung- Majelis hakim Tindak Pidana Korupsi Bandung menjatuhi hukuman penjara kepada tiga pejabat Dinas Kesehatan Jawa Barat, Amir Hamzah, Susi Astuti, dan Idris Triswanto. Hakim menilai ketiga pejabat tersebut terbukti telah melakukan tindak pidana korupsi terhadap pembelian alat kesehatan yang mengakibatkan negara merugi sebesar Rp 18,6 miliar.
Hukuman yang dijatuhkan kepada tiga pejabat tersebut berbeda-beda. Amir Hamzah, selaku tim pendukung teknis pada kegiatan pengadaan alat kesehatan pemenuhan sarana dan prasarana rumah sakit (PONEK), dijatuhi hukuman 4 tahun penjara dan denda Rp 50 juta. Sedangkan, Susi Astuti dan Idris Triswanto, selaku pejabat pembuat komitmen pada kegiatan PONEK dan PONED, dijatuhi hukuman 2 tahun 6 bulan penjara serta denda Rp 50 juta.
“Mengadili, terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan sebagaimana dakwaan subsider telah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” ujar ketua ,ajelis hakim Eko Aryanto saat membacakan amar putusan di Pengadilan Tipikor Bandung, Senin, 12 Oktober 2015.
Putusan hakim tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum. Sebelumnya, jaksa penuntut umum menuntut Amir Hamzah dengan hukuman bui 8 tahun, serta 4 tahun untuk Susi Astuti dan Idris Triswanto.
Ketiga terdakwa dijerat dengan pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Majelis hakim menilai, ketiga terdakwa tersebut telah melakukan perbuatan yang mengakibatkan negara mengalami kerugian. “Menimbang, berdasarkan hasil audit investigasi BPKP Jabar, telah terjadi kerugian negara sebesar Rp 18,6 miliar,” ujar ketua majelis hakim.
Majelis hakim menilai, ketiga terdakwa tersebut telah lalai dan menyalahi wewenang dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan bagi rumah sakit dan puskesmas di seluruh Jawa Barat. Dalam pengadaan barang yang menggunakan APBD Jawa Barat tahun 2012 itu, terjadi kelebihan harga beli barang. Hal ini mengakibatkan tujuh perusahaan menggaruk untung yang cukup besar.“Perbuatan terdakwa telah menguntungkan orang lain dan korporasi,” kata dia.
Majelis hakim menilai melambungnya harga pembelian barang tersebut merupakan kesalahan para terdakwa. Terdakwa telah lalai dalam membeli barang senilai Rp 88 miliar, tanpa menanyakan potongan harga pada perusahaan. “Terdakwa telah mengabaikan diskon. Seharusnya, seperti yang diketahui, membeli alat kesehatan selalau ada diskon,” kata dia.
Hakim juga mengatakan selama persidangan, tidak ada fakta dan saksi yang dapat menggugurkan kesalahan para terdakwa. “Menimbang bahwa majelis hakim tidak menemukan hal-hal yang menghapus kesalahan pidana terdakwa,” ujar hakim.
Perbuatan para terdakwa, hakim menilai, telah bertentangan dengan misi pemerintah yang tengah gencar memberantas tindak pidana korupsi. Hal itulah yang menjadi pertimbangan majelis hakim memberatkan posisi terdakwa. “Yang meringankan, terdakwa belum pernah berurusan dengan hukum, terdakwa masih memilki tanggungan, dan terdakwa telah mengabdi kepada negara selama menjadi PNS,” kata dia.
Selama majelis hakim membacakan amar putusan, ketiga terdakwa yang duduk bersebelahan terus menundukan kepalanya. Sementara itu, keluarga terdakwa turut menghadiri sidang. Setelah hakim mengetuk palu tanda sidang berakhir, sejumlah keluarga korban nampak kecewa. Sebagian pengunjung sidang bahkan tak bisa menahan air matanya.
Sementara itu, kuasa hukum terdakwa, Saim Kasdiman, mengatakan, seharusnya majelis hakim membebaskan ketiga kliennya tersebut. Lantaran, menurut dia, tidak ada bukti yang menyebutkan kerugian keuangan negara tersebut mengalir ke saku terdakwa. “Tapi, kami menghargai putusan hakim,” ujar Saim. Atas keputusan hakim tersebut, pihaknya akan memenfaatkan waktu tujuh hari untuk pikir-pikir mengajukan banding atau tidak.
IQBAL T. LAZUARDI S