TEMPO.CO, Surabaya - Jam di dinding menunjukkan pukul 01.30, bulan September 1968. Pintu rumah di Jalan Ngagel Tirto Gang 2, Surabaya, itu digedor cukup keras. Si pemilik rumah, Bambang Ruswanto Tikno Hadi berfirasat tak enak. Dia bertahan di kamar dan istrinya, Judita Marini Rahayu memilih membukakan pintu.
Sayup-sayup suara istrinya bisa ia dengar dari balik tembok. Suara istrinya menantang satu peleton pasukan Korem 084 bersenjata lengkap menunjukkan surat jika ingin menangkap suaminya. Suara keras sang istri seperti menjadi sinyal agar ia melarikan diri. Tetap dengan memakai celana pendek dan kaos tidur, Bambang menyelinap keluar dari daun jendela kamar.
Dia menembus kepekatan malam dengan merangkak menuju gang kecil di samping rumahnya. Baru beberapa langkah, sebuah laras panjang menempel di pipi kanannya. “Angkat tangan!” perintah si pemilik senjata. Bambang memasrahkan diri, inilah akhir dua tahun pelariannya.
Bambang kemudian ditendang di depan istrinya. Lalu diseret sejauh setengah kilometer dan dilemparkan ke dalam truk. Di dalam truk Gezz Rusia itu, sudah ada delapan laki-laki bernasib sama dengannya. Truk memasuki sebuah rumah besar di Jalan Tambak Sari. Ia kembali dilempar dalam ruangan sempit yang telah berisi 60 laki-laki dan perempuan.
Jam 2.30 Bambang menjalani interograsi. Seluruh pakaian dilucuti, tersisa celana dalam. Tentara di depannya bertanya siapa saja teman-teman Bambang yang belum tertangkap. Saat dia jawab tidak tahu, Bambang yang saat itu berusia 28 tahun dihujani alat setrum.
Lima hari mengalami penyiksaan di posko, Bambang bersama 60 tahanan lain digelandang ke Penjara Kalisosok, Surabaya. Ia menempati kamar nomor 5 di Blok G1. Dalam ruangan berukuran 4x8 meter, Bambang harus berbagai ruang hidup bersama 90 tahanan lainnya. “Padahal ruangan idealnya hanya bisa ditempati 20 orang saja,” kata dia mengenang.
Selanjutnya > Bambang Ruswanto menjadi target