TEMPO.CO, Yogyakarta - Ribuan warga Yogyakarta tumpah ke jalan menyaksikan pawai besar peringatan hari jadi ke 259 Kota Yogyakarta, Rabu petang, 7 Oktober 2015. Para warga itu berkerumun di sepanjang trotoar jalan yang menjadi rute pawai sejak pukul 18.00 WIB atau satu jam sebelum pawai dimulai. Warga memadati Jalan Jenderal Sudirman-Monumen Tugu Pal Putih- Jalan Mangkubumi- Jembatan Kleringan.
Meski pawai ulang tahun kali ini tak melintasi Jalan Malioboro dan berakhir di Alun-Alun Utara depan Keraton Yogya, warga tetap antusias menanti 4.000 peserta pawai dari 45 kelurahan. Rute pawai kali ini sengaja tak melintasi Malioboro karena adanya pembangunan kawasan Titik Nol Kilometer dan lokasi parkir Abu Bakar Ali.
Para peserta dari tiap kelurahan bersiap di sepanjang Jalan Furidan Muridan Noto Kotabaru sebelum masuk memulai rute di Jalan Jenderal Sudirman. Peserta itu antre mengular sebelum tampil hingga ke ruas-ruas jalan Kotabaru dengan kostum-kostum uniknya.
Sekitar 100 warga Kelurahan Tegalpanggung Danurejan mengenakan kostum berbentuk burung Derkuku yang dibuat dari bahan kertas karton dan dilukis. Warga pun menyulap kendaraan roda tiga menjadi model sarang burung dari jerami lengkap dengan telur-telur tiruan. "Kami berharap Kota Yogya ramah kepada alam meskipun semakin banyak hotel, dan burung seperti derkuku yang dulu gampang ditemui bisa kembali," ujar Haryono koordinator pawai Kelurahan Tegalpanggung.
Lurah kampung Bausasran Yogya, Artika, mengerahkan warganya dalam pawai itu untuk mengarak layang-layang raksasa berbentuk hewan mirip kelabang yang berkaki banyak. Tema itu layang-layang itu diangkat untuk mengenalkan pada publik jika di Bausasran, tempat para perajin layang-layang yang sering diikutkan dalam kompetisi internasional. "Layang-layang menjadi spirit baru untuk menggerakkan minat warga di bidang kerajinan," ujar Artika.
Tak kalah menarik, aksi dari warga Kelurahan Ngadinegaran Kecamatan Mantrijeron. Meski hanya membawa 40 peserta, namun semua peserta kelompok itu merupakan kalangan profesional. Aksinya menyita perhatian karena menampilkan Topeng Ireng. Kesenian itu selama ini hidup dan lebih banyak dimainkan warga Jawa Tengah, khususnya di Temanggung dan Magelang.
"Kami sebenarnya mengadopsi tari Topeng Ireng dan Tari Perang Dayak Kalimantan sebagai media berkesenian di kampung tiga tahun terakhir," kata Edi Mbolok, pimpinan kelompok Topeng Ireng Mantrijeron.
Menurut Edi, sangat terbatasnya gerakan-gerakan tarian kontemporer saat ini perlu penyegaran dengan mengawinkan satu seni tradisi dengan tradisi lain sehingga tak membosankan atau mudah ditebak. "Kelompok kami justru laris diundang ke berbagai daerah dengan tari kombinasi dua tradisi itu."
Pawai itu dipusatkan di pelataran Monumen Tugu Pal Putih sebagai titik display utama dan pertunjukan kolosal kecil tentang sejarah Yogya digelar. Tugu dilingkari palang-palang besi membentuk persegi dan lampu sorot warna-warni hingga jalan Mangkubumi.
Dalam hajatan pawai besar itu, jalan Malioboro yang tak dilintasi peserta menjadi lengang dan lancar. Sebaliknya jalan sekitar rute seperti Jalan Pangeran Diponegoro, Jalan AM Sangaji, dan sekitar Jembatan Kleringan ikut membludak massa hingga tak bisa dilalui.
PRIBADI WICAKSONO.