TEMPO.CO, JAKARTA – Pernyataan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Mulyono perihal adanya ancaman kebangkitan komunisme di Indonesia dianggap tidak berdasar. Menurut profesor politik dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Syamsuddin Haris, kondisi saat ini justru tak memungkinkan bagi ideologi yang dianut Partai Komunis Indonesia (PKI) itu tumbuh subur seperti sebelum peristiwa 1965.
“Ketakutan terhadap komunisme hanya buang-buang waktu,” kata Syamsuddin, kemarin.
Di dunia, kata Syamsuddin, komunisme bukan lagi ideologi yang berpengaruh. Perang Dingin—yang menandai perseteruan Blok Timur yang beraliran komunis dan Blok Barat yang berhaluan liberal—berakhir lebih dari 20 tahun lalu seiring dengan runtuhnya Uni Soviet.
Kini, Cina pun hanya mempraktekkan komunisme dalam bidang politik. Dalam perekonomian, Cina menganut sistem kapitalisme seperti Amerika Serikat. “Dunia sudah meninggalkan komunisme,” kata Syamsuddin.
Lima puluh tahun setelah penumpasan PKI dan simpatisannya, Jenderal Mulyono mengungkit kembali bahaya komunisme. Seperti diberitakan sejumlah media, dalam peringatan Gerakan 30 September 1965 di Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta, dua hari lalu, ia mengatakan ideologi tersebut sedang bangkit dan gerakannya akan menyusup ke segala lini.
Kepala Dinas Penerangan TNI AD, Brigadir Jenderal M.S. Fadhilah, mengatakan indikasi kebangkitan komunisme ditandai dengan munculnya kembali gambar palu-arit yang merupakan lambang PKI. “Di Jawa Tengah paling banyak,” ujar dia, kemarin.
Menurut Fadhilah, gerakan pro-PKI menyebarkan propaganda lewat pemutaran film yang menyudutkan tentara. Mereka, kata dia, membentuk opini bahwa telah terjadi pembantaian dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap anggota dan simpatisan PKI. “Tandanya cukup jelas. Mereka tak suka Pancasila dan menginginkan revolusi.”
Menurut Syamsuddin Haris, pemasangan atribut dan lambang PKI tak lebih dari gaya-gayaan. “Apa maknanya pemasangan itu? Sama sekali tak kuat,” kata Syamsuddin. Sejumlah anak muda yang bersimpati kepada PKI tak memiliki akar kuat untuk menciptakan gerakan seperti pada 1960-an. Mereka, kata Syamsuddin, hanya ingin berbeda sikap dengan kebijakan negara.
Sejarawan Anhar Gonggong juga menilai saat ini komunisme dan PKI sukar bangkit lagi. “Selama lima puluh tahun ini, zaman telah berubah. Situasinya juga sudah berbeda,” kata dia.
Bagi pengamat militer dan keamanan dari Universitas Padjadjaran, Muradi, pernyataan Jenderal Mulyono hanya untuk memperkuat posisi TNI AD. “Itu bagian dari formula politik TNI AD untuk menegaskan dedikasi dan posisi mereka,” ujar dia. Dalam dunia akademik, kata Muradi, pernyataan itu dikenal sebagai teori formulasi. Berdasarkan teori itu, TNI AD berusaha menunjukkan eksistensinya dengan cara mencari “musuh”—dalam hal ini komunisme.
Tak kunjung berakhirnya pro-kontra mengenai peristiwa 1965 mendorong pemerintahan Presiden Joko Widodo mencari penyelesaian. Walau sudah memutuskan tak akan meminta maaf kepada korban tragedi 1965, pemerintah bertekad untuk menyelenggarakan rekonsiliasi.
“Kami ingin masalah bangsa ini segera diselesaikan,” kata Jaksa Agung Muhammad Prasetyo. “Sehingga beban masa lalu bisa selesai dan segera membuka lembaran baru untuk Indonesia yang lebih baik.”
TIM TEMPO
Baca juga:
TNI & G30 September 1965: Inilah 5 indikasi Keterlibatan Amerika!
EKSKLUSIF G30S 1965: Begini Pengakuan Penyergap Ketua CC PKI Aidit