TEMPO.CO, Blitar - Sedikitnya seratus petani dan mahasiswa menggelar aksi turun jalan di Kota Blitar. Selain menuntut penyelesaian sengketa lahan dengan perkebunan, aksi ini mengecam pembunuhan dan penganiayaan pejuang agraria di Lumajang.
Barisan petani dan mahasiswa ini memulai beraksi di perempatan Lovi, Kota Blitar, Senin, 20 September 2015. Dengan membawa berbagai poster bertema sengketa agraria yang kerap mendera para petani, mereka melakukan orasi sambil membagikan selebaran. Aksi ini dilakukan sebagai peringatan Hari Tani Nasional yang jatuh pada 24 September lalu.
Koordinator aksi Front Perjuangan Petani Mataraman (FPPM), Mohamad Triyanto, mengatakan para petani acap kali berada dalam posisi sulit saat berhadapan dengan pemilik modal atau negara sekalipun. Hingga kini, masih banyak persoalan sengketa agraria yang menempatkan petani sebagai kelompok marginal. “Kasus Lumajang menjadi bukti negara membiarkan petani berkonflik dengan pemilik modal,” ucap Triyanto, Senin, 28 September 2015.
Celakanya, ujar Triyanto, dalam kasus-kasus seperti itu, baik negara maupun aparat keamanan justru kerap menjadi anjing penjaga para pemilik modal yang bersikap intimidatif kepada petani. Karena itu, dia mendesak kasus penganiayaan dan pembunuhan terhadap Samsul alias Kancil, petani di Desa Selok Awar-awar, Lumajang, oleh preman pemilik penambangan pasir di wilayah Pantai Watu Pecak diusut tuntas. Aparat kepolisian dituntut membuktikan diri tidak menjadi beking pemilik tambang dengan menangkap pelaku pembantaian sadis itu.
Forum para petani ini juga menuntut penyelesaian sejumlah sengketa agraria yang melibatkan petani dan pemilik perkebunan di Blitar. Pemerintah diminta segera merealisasikan proses sertifikasi lahan kepada petani sebanyak 1.500 bidang sesuai kuota yang diberikan Badan Pertahanan Nasional. Sebab, para petani sudah mengelola dan menduduki lahan yang diklaim milik pihak perkebunan selama lebih dari 20 tahun.
Baca Juga:
“Kami juga mendorong kawan jaringan petani yang mengajukan judicial review terhadap Undang-Undang Perkebunan yang masih memasukkan pasal karet, yang mengkriminalkan petani,” tutur Triyanto.
HARI TRI WASONO