TEMPO.CO , Denpasar:Keberadaan Bali sebagai daerah yang berbasis budaya agraris kini kian terancam oleh tingginya alih fungsi lahan pertanian.
“Angkanya mencapai 661 hektar per tahun. Sementara hutan rakyat mencapai sebesar 820 hektar per tahun,” ujar Gubernur Bali I Made Mangku Pastika pada rapat koordinasi sinkronisasi daerah dengan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Perwakilan Bali di Denpasar, Rabu, 23 September 2015.
Alih fungsi itu terkait erat dengan masalah pertanian yang kain ditinggalkan oleh anak-anak muda di bawah usia 25 tahun. “Petani di Bali cenderung mengelola lahan yang sempit sehingga hasil yang diperoleh juga tidak maksimal,” ujarnya. Di sisi lain, Bali memiliki tantangan dalam menghadapi pengaruh global yang saat ini sudah mempengaruhi karakter dan budaya orang Bali.
Mengatasi berbagai macam permasalahan, menurut Pastika, Bali idealnya dikelola dengan mempergunakan prinsip “One Island Management” yang memungkinkan pelaksanaan pembangunan secara terintegrasi. Setidaknya, kebijakan pengaturan tata ruang, kepegawaian dan keuangan serta pelestarian adat dan budaya, agar diberikan kewenangan kepada Pemerintah Provinsi.
Terkait gagasan tersebut, anggota DPD, Gede Pasek Suardika menyatakan, kesempatan itu cukup terbuka dengan adanya rencana Undang Undang Pemerintahan Provinsi Bali sebagai revisi atas undang-undang sebelumnya yang dibuat pada tahun 1958. Revisi UU memungkinkan adanya kekhususan bagi Bali karena kondisi sosial budaya dan ekonominya yang tergantung pada pariwisata.
Sementara itu untuk memperkuat ketahanan budaya, menurut Pasek, Bali juga sedang menghadapi dilema dengan tak didaftarkannya Desa Adat sesuai dengan Undang Undang Desa. Hal ini membuat Desa Adat tidak dapat memperoleh bantuan dana guna melakukan kegiatan adat dan budaya.
Karena itu, dia mengajak warga Bali untuk bersama-sama melakukan judicial review agar UU Desa secara otomatis mengakui keberadaan Desa Adat dengan segala hak hukumnya.
ROFIQI HASAN