TEMPO.CO, Yogyakarta - Penduduk Yogyakarta tidak suka berutang, khususnya kepada bank. “Masyarakat DIY lebih suka menabung ketimbang utang,” kata Kepala Perwakilan Bank Indonesia (BI) Yogyakarta Arif Budi Santosa di komplek kantor Gubernur Daerah Istimewa Yogyakara, Kepatihan, Selasa 15 September 2015.
Akibatnya, Loan to Deposit Ratio (LDR) atau rasio antara besaran volume kredit yang disalurkan bank dengan jumlah penerimaan dana dari berbagai sumber di DIY rendah atau di bawah rata-rata national. LDR perbankan nasional mencapai 90 persen, maka LDR di DIY hanya 60 persen.
Padahal, lanjut Arif, LDR menjadi salah satu ukuran untuk menilai tingkat kesehatan suatu bank. Apabila LDR tinggi, maka kondisi bank lebih sehat karena keuntungan yang didapat dari penyaluran kredit semakin besar.
Anehnya, menurut Arif, justru pertumbuhan perekonomian di DIY lebih tinggi ketimbang pertumbuhan ekonomi nasional hingga pertengahan 2015 ini. Pada triwulan II 2015, pertumbuhan perekonomian DIY pada prosentase 4,72 persen, sedangkan nasional hanya 4,67 persen. “Pertumbuhan tersebut ditopang dengan keberadaan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) yang mencapai 92 persen prosentasae jumlahnya dari total jenis usaha di DIY,” ujar Arif.
Asisten Sekretaris Daerah Bidang Perekonomian dan Pembangunan DIY Didik Purwadi juga heran terhadap kondisi perekonomian DIY. Meskipun masyarakatnya banyak yang miskin, tapi ukuran kemiskinan di Yogyakarta tak bisa diukur dengan standar kemiskinan menurut World Health Organization (WHO).
Semisal, orang dikatakan miskin menurut WHO jika hanya makan 2.100 kalori per orang per hari, tetapi orang di DIY makan dengan jumlah kalori di bawah 2.100 belum tentu dikatakan miskin. “Karena makan kurang dari itu sudah merasa cukup. Bukan karena tak mampu membeli,” kata Didik.
Lantaran itu pula, menurut Didik, acapkali DIY kesulitan mengajukan bantuan dana untuk anggaran kemiskinan. Lantaran dianggap memanipulasi data. “Padahal kondisinya seperti itu,” ujarnya.
PITO AGUSTIN RUDIANA