TEMPO.CO , Bandung:Hari masih pagi saat Jack (39) berangkat dari kontrakannya di Babakan Loa, Rancaekek, Bandung menuju 'kantornya' di Kampus Fikom Unpad Jatinangor, Sumedang. Kacamata hitam bertengger di hidungnya, jaket pendek dengan banyak kantong membungkus tubuhnya nan kecil, sebuah tas melingkar di pinggangnya. Tak lupa peluit menjadi pelengkap ‘seragam dinasnya’.
Pria bernama lahir Undang Suryaman ini, memang telah belasan tahun menjadi juru parkir di Kampus Fikom Unpad Jatinangor. Sampai saat ini, dia masih betah mengumpulkan receh dari parkir mahasiswa.
Sekilas tak ada yang menarik dari sosok Jack. Ia terlihat seperti juru parkir biasa yang mungkin agak nyentrik karena tak pernah melepas kacamata hitamnya. Sesekali ia memakai jeans yang sudah bolong, menunjukkan sisi mudanya.
Siapa sangka, di balik tampilan itu, Jack adalah pribadi yang lembut, peduli, dan ramah. Sejak 4 tahun belakangan, Jack bersama keluarga memutuskan mendirikan TK dan TPA untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu di sekitar tempat tinggalnya.
Rumah kecil milik ibu mertuanya yang sedang menjadi asisten rumah tangga di Jakarta, disulap menjadi TK dan TPA Araudhatul Jannah. Di sanalah 50 murid TK dan 80 puluh lebih murid TPA menuntut ilmu secara gratis.
“Saya lihat anak-anak khususnya yang di lingkungan saya banyak yang tidak sekolah karena hambatan ekonomi. Saya berpikir bagaimana caranya mereka bisa sekolah tanpa biaya. Saya dulu pernah ingin sekolah dan terhambat biaya, saya tak mau mereka merasakan hal yang sama,” ungkap Jack yang hanya tamat SD kepada Tempo, Senin, 7 September 2015.
Jack mengaku mulai mendirikan sekolah dengan modal nekat. Ia sadar, hanya niat kuat yang ia miliki. Ia tak punya pendidikan yang bagus, tak punya uang yang banyak, dan tak punya kenalan hebat yang dapat membantunya mendirikan sekolah. Namun, niat itu segera ditunaikan. Menurut Jack, tak perlu jadi orang kaya dulu jika ingin berbagi.
“Kalau memang kita ingin membantu orang lain segera lakukan. Kalau mau menunggu sukses, siapa yang jamin akan sukses? Apalagi hanya tukang parkir seperti saya. Belum tentu pula umur akan panjang. Beramal jangan hanya ketika lapang, beramal saat sempit lebih disenangi Allah,” ungkap ayah 4 anak ini.
Sebagai tukang parkir, Jack hanya bisa mengumpulkan Rp 50 – 60 ribu per harinya. Uang itu digunakan untuk keperluan keluarga, sekolah anak, dan biaya operasional sekolah. Namun menurutnya, Allah selalu melapangkan jalannya. Meski dengan akal sehat tak kan cukup, Jack dan keluarga tak pernah merasa kekurangan. “Selalu ada rezeki tak terduga,” kata dia.
Jack bercerita, jalannya tak selalu mulus. Tak jarang ia menerima cemoohan, hinaan, bahkan fitnah dari orang-orang yang tidak menyukainya. “Dulu waktu sekolahnya masih di masjid, saya difitnah minta dana bangunan ke orangtua sebesar Rp 400 ribu. Padahal kami tidak minta biaya apapun. Jangankan di masjid, kalau sudah punya tempat sendiri pun saya tak akan memungut uang bangunan,” kisah Jack.
Jack mengakui, memang ada beberapa orang tua yang memberikan infak sukarela sebanyak Rp 25 ribu per bulan, tanpa paksaan. Uang itu pun menurutnya digunakan lagi untuk membeli buku-buku dan keperluan anak-anak, ditambah dengan bantuan beberapa donatur.
Menurut Jack, masa lalunya yang kelam mungkin membuat orang lain meremehkan dirinya yang ingin berbuat baik. “Saya terima ada yang menjelek-jelekan dan memfitnah saya. Saya anggap ini balasan dari dosa yang saya perbuat di masa lalu. Saya tidak patah semangat,” ungkap Jack.
Saat ini, TK Araudhatul Jannah masih menumpang di sekolah Taman Alquran Jawa Barat di Gunung Sembung, Komplek Madani karena belum memiliki tanah hibah untuk mendirikan yayasan. Akan tetapi, sekolah tetap ramai, bahkan lorong-lorong rumah pun dimanfaatkan untuk anak-anak belajar.
Jack, membagi waktu belajar menjadi 2 shift. Pagi sekolah dipakai untuk siswa TK, sehabis maghrib dipakai untuk TPA yang terdiri dari anak SD, SMP, dan SMA. Ia memiliki 3 pengajar ibu-ibu untuk TK dan 4 pengajar untuk TPA yang semuanya tak dibayar. Jack sendiri ikut membina 4 guru TPA yang masih SMA.
Menurutnya, para pengajar tak digaji. Mereka hanya menerima sekitar Rp 70-80 ribu per bulan jika ada infak sisa beli kebutuhan siswa. Bahkan, ketika sisanya sedikit, mereka gunakan untuk masak dan makan bersama.
Suara klakson mobil menghentikan kisah Jack. Ia bergegas memandu pengendara yang ingin keluar dan kembali mengumpulkan receh. Uang receh itu suatu saat mungkin akan membuat sekolah rumahannya tumbuh besar.
ADE FITRIA NOLA