TEMPO.CO, Yogyakarta - Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan ternyata tidak mempermasalahkan aturan larangan bagi Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan Cina memiliki tanah di Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia menganggap peraturan itu bisa dijalankan meskipun selama ini menyebabkan WNI Tionghoa tidak bisa mendapatkan hak milik atas tanah di DIY. "Itu bagian dari kearifan lokal, di Bali juga begitu, orang dari luar kecamatan tak bisa punya sawah," kata Ferry saat diminta keterangan wartawan seusai menghadiri Wisuda Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) Tahun Akademik 2014/2015 pada Kamis, 3 September 2015.
Dia berpendapat aturan itu tak bisa dipertentangkan dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Ferry mengatakan larangan seperti itu malah menunjukkan keistimewaan Yogyakarta. "Keistimewaan Yogyakarta tidak bisa dilihat dengan mindset provinsi biasa," kata dia.
Dia menganalogikan keabsahan aturan ini dengan mencontohkan Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta yang tidak memiliki DPRD Tingkat II di setiap kota administratifnya. Ferry juga menyamakan kekhususan aturan itu dengan Komisi Pemilihan Umum di Provinsi Nagroe Aceh Darussalam yang justru bernama Komisi Independen Pemilihan. "Jangan dikontradiksikan (aturan kepemilikan tanah di DIY dengan undang-undang lainnya)," kata dia.
Komentar Ferry ini kontras dengan sejumlah surat dari pemerintah pusat yang meminta pembatalan aturan itu. Apalagi, larangan kepemilikan lahan bagi WNI Non-Pribumi di DIY hanya berdasar pada Surat Instruksi Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor K.898/I/A/1975 tentang Penyeragaman Policy Pemberian Hak atas Tanah Kepada Seorang WNI Non-Pribumi yang terbit pada 1975 lampau.
BPN Pusat sudah mengeluarkan surat yang meminta pembatalan aturan itu karena bertentangan dengan sejumlah peraturan di atasnya pada 16 November 2011. Surat yang meminta tidak ada pembedaan atas dasar suku, ras, agama, golongan dan gender dalam pemberian hak milik atas tanah di DIY itu terbit berkat aduan Willie Sebastian. Willie merupakan warga Tionghoa asal Sleman dan Ketua Gerakan Anak Negeri Anti-Diskriminasi (Granad).
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia juga telah berkirim surat rekomendasi sebanyak dua kali ke pemerintah DIY agar diskriminasi atas kepemilikan tanah dihilangkan. Dua surat Komnas HAM itu terbit pada 11 Agustus 2014 dan 7 Agustus 2015.
ADDI MAWAHIBUN IDHOM