TEMPO.CO, Bandung - Keberadaan moda transportasi berbasis aplikasi yang diusung oleh Go-Jek dan Uber hingga kini masih menjadi kontroversi. Setelah di Jakarta, penolakan juga terjadi di Bandung.
Pekan lalu, keberadaan Uber dan Go-Jek dibahas melalui seminar bertajuk Fenomena Moda Transportasi Baru Kota Bandung di Era Digital, yang diselenggarakan oleh Pemerintah Kota Bandung dan Institut Teknologi Bandung (ITB). Wali Kota Bandung Ridwan Kamil menyebut hasil seminar ini sebagai penentu keberadaan Go-Jek dan Uber di Kota Bandung. "Minggu ini sedang difinalisasi hasil seminarnya," ujar Ridwan Kamil seusai memberikan sambutan pada Pameran Gapopin di The Trans Luxury Hotel, Selasa, 1 September 2015.
Ridwan Kamil berjanji pekan depan akan memutuskan nasib Go-Jek dan Uber di Kota Bandung. Keputusan itu akan diumumkan kepada seluruh pengusaha angkutan umum di Bandung, seperti taksi, angkot, dan ojek pangkalan yang keberatan dengan keberadaan dua moda transportasi tersebut. "Senin saya janji sudah ada keputusannya," katanya.
Pengamat hukum perkotaan, Rizky Adiwilaga, mengatakan, konflik yang timbul di masyarakat ihwal kehadiran Go-Jek, Uber, dan Grabtaxi tidak lebih dari masalah persaingan pelayanan.
Rizky menambahkan, pemerintah di level kota ataupun kabupaten tidak akan bisa membuat regulasi dan melegalkan keberadaan Go-Jek dan Uber. Sebab, tidak ada undang-undang yang mengatur sarana transportasi ojek, baik konvensional maupun berbasis aplikasi. Begitu pula dengan Uber. "Undang-undang yang ada juga tidak mengatur adanya jasa transportasi menggunakan mobil pelat hitam," katanya.
Jika pemerintah kota ataupun kabupaten ngotot melegalkan keberadaan dua moda transportasi ini, pembahasan harus dilanjutkan ke Dewan Perwakilan Rakyat untuk mengamandemen Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 yang mengatur tentang lalu lintas dan angkutan jalan raya.
PUTRA PRIMA PERDANA