TEMPO.CO, Surabaya - Gagalnya pasangan bakal calon wali kota dan wakil wali kota, Rasiyo-Dhimam Abror Djuraid, maju dalam pemilihan kepala daerah Surabaya memicu protes dari Partai Demokrat. Partai berlambang Mercy itu bergegas melaporkan Komisi Pemilihan Umum kota Surabaya kepada Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) dan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu).
“Kami akan melapor ke DKPP dan Panwaslu, untuk diteruskan ke Bawaslu,” kata Ketua DPD Partai Demokrat Jawa Timur Soekarwo kepada wartawan di Gedung Negara Grahadi, Surabaya, Senin, 31 Agustus 2015. Keputusan itu dicapai setelah sehari sebelumnya para pengurus DPD Partai Demokrat menggelar rapat konsolidasi dengan Ketua Umum DPP Susilo Bambang Yudhoyono di Cipanas.
Menurut Soekarwo, keputusan KPU tak meloloskan Rasiyo-Abror merupakan tindakan yang melanggar hak asasi berdemokrasi seseorang. Terutama bagi Rasiyo yang berkas-berkasnya memenuhi syarat. “Keputusan KPU itu menghilangkan hak demokrasi seseorang. Enggak boleh itu,” ujarnya.
Selain persoalan hak tersebut, pria yang biasa disapa Pakde Karwo itu mempertanyakan penilaian KPU mengenai keabsahan surat rekomendasi model B1-KWK berupa hasil scan. Ia mengibaratkan surat tersebut sama dengan ijazah sekolah. “Kalau ijazah kita dianggap palsu, tapi begitu sekolahnya menyatakan tidak (palsu), ya, selesai. Kalau kemudian scan tidak memenuhi syarat, tapi partai mengatakan betul, kan, mestinya selesai.”
Soekarwo mengaku telah berkomunikasi dengan Partai Amanat Nasional selaku pengusung Dhimam Abror Djuraid. Soekarwo mengklaim sudah bertemu Ketua DPW PAN Jawa Timur Sunyoto dan mendapatkan visi yang sama. “Kang Nyoto (sapaan Sunyoto) tadi sudah ke KPU, sudah menanyakan dan protes keras ke KPU,” tuturnya.
Komisi Pemilihan Umum kota Surabaya memutuskan tak meloloskan pasangan bakal calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Surabaya Rasiyo dan Dhimam Abror. Berkas pasangan calon yang diusung Partai Demokrat dan Partai Amanat Nasional ini dinyatakan tidak memenuhi syarat karena dua hal.
Pertama ialah adanya perbedaan surat keputusan alias rekomendasi dari Dewan Pimpinan Pusat (DPP) PAN sebagai parpol pengusung. Dua surat yang diserahkan saat pendaftaran pada 11 Agustus dan masa perbaikan 19 Agustus tidak sama persis.
Kedua ialah adanya persyaratan untuk bakal calon wakil wali kota Dhimam Abror yang tidak dipenuhi. Yakni kewajiban menyerahkan bukti tak memiliki tunggakan pajak di kantor pelayanan pajak pratama.
ARTIKA RACHMI FARMITA
TEMPO.CO, Jakarta - Otto Cornelis Kaligis membacakan keberatan pribadinya yang terdiri atas 40 halaman dalam sidang perdananya di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Senin, 31 Agustus 2015. Di depan majelis hakim, OC Kaligis mengeluh reputasinya sebagai pengacara hancur begitu ia dinyatakan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Padahal, menurut OC Kaligis, apa yang dituduhkan KPK belum tentu benar.
"Saya harus menutup kantor yang sudah saya bangun dari nol selama 49 tahun. Reputasi dan nama baik saya sebagai guru besar di beberapa universitas dan sebagai advokat menjadi hancur dan punah," kata OC Kaligis. Akibatnya, menurut OC Kaligis, ada 500 orang harus kehilangan pekerjaan. Firma hukumnya, OC Kaligis and Associates, harus diserahkan kepada advokat-advokat senior.
Selain itu, kata OC Kaligis, kliennya di dalam dan luar negeri lari karena konotasi buruk dirinya sebagai tersangka. "Semua ini karena KPK menjadikan saya sebagai target operasi," ujar OC Kaligis.
Dalam keberatan itu, OC Kaligis juga memperhatikan reputasi hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. "Hakim PTUN kehilangan nafkah, pikirkan profesi hakim dan masa depan mereka."
KPK mendakwa Otto Cornelis Kaligis telah menyuap tiga hakim dan seorang panitera Pengadilan Tata Usaha Negara Medan. Suap diberikan untuk memuluskan perkara pengujian kewenangan Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara yang menetapkan anak buah klien Kaligis (Gatot Pujo Nugroho dan Evy Susanti) sebagai tersangka.
Kaligis bersama M. Yagari Bhastara alias Gary, Gatot Pujo Nugroho, dan Evy Susanti memberikan sejumlah uang kepada Tripeni Irianto Putro selaku Ketua PTUN Medan sebesar Sin$ 5.000 dan US$ 15 ribu, kepada Dermawan Ginting dan Amir Fauzi selaku hakim PTUN Medan masing-masing sebesar US$ 5.000, serta Syamsir Yusfan selaku panitera PTUN Medan sebesar US$ 2.000. Duit suap diserahkan lima kali pada April dan Juli 2015 di kantor PTUN Medan.
"Terdakwa melakukan atau turut serta melakukan beberapa perbuatan yang harus dipandang sebagai perbuatan berlanjut, memberi atau menjanjikan sesuatu kepada hakim," kata tim jaksa penuntut umum KPK yang diketuai Yudi Kristiana di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi saat membacakan dakwaan.
INDRI MAULIDAR