TEMPO.CO, Malang - Anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat, Achmad Basarah, mengatakan saat ini pelaku terorisme mengincar aparat kepolisian untuk bergabung dan melakukan aksi terorisme. Polisi yang awalnya disersi atau meninggalkan tugas ternyata bergabung dengan jaringan terorisme.
"Ada sejumlah polisi yang terlibat terorisme. Teroris melakukan berbagai cara dan modus," kata Achmad Basarah dalam dialog penanggulangan terorisme di Universitas Brawijaya, Malang, Kamis, 27 Agustus 2015.
Jika polisi saja bisa terpengaruh, menurut Achmad, elemen lain juga harus dilibatkan dalam menangkal gerakan terorisme. Basis intelektual menjadi modal teroris untuk memperkuat jaringannya. "Polisi yang ditempa dengan ideologi dan mental yang kuat saja jebol, apalagi mahasiswa," ujarnya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Brigadir Jenderal Hamidin menegaskan bahwa program deteksi dini dan penangkalan terorisme seharusnya melibatkan semua pihak. Termasuk aparat kepolisian, pemerintah daerah, dan perguruan tinggi. "Polisi punya program deteksi dini dan penangkalan terorisme," ujarnya.
Gerakan dan jaringan terorisme terus berubah, termasuk menggunakan teknologi canggih, seperti senjata kimia, biologi radiologi, dan nuklir. Pelaku terorisme mengakses informasi mengenai penggunaan senjata berbahaya tersebut melalui Internet. "Semakin berbahaya. Mereka mudah mengakses senjata berbahaya," tuturnya.
Untuk mencegah itu, dilakukan kerja sama dan penanganan bersinergi dengan TNI Angkatan Laut, Angkatan Darat, dan Angkatan Udara. "Jika ada pembajakan pesawat, TNI Angkatan Udara bergerak; ada teroris di laut, diturunkan TNI Angkatan Laut; dan serangan di darat dibantu TNI Angkatan Darat," ucapnya.
Model serangan terorisme juga berubah. Jika sebelumnya serangan bom bunuh diri dengan sasaran korban lebih besar, kini mereka menargetkan mengebom 2.000 gereja karena balas dendam muslim di Poso dan bom di Kedutaan Besar Filipina untuk membalas dendam setelah kamp latihan Jamaah Islamiyah dihancurkan.
"Sekarang polisi juga menjadi incaran teroris," kata Hamidin. Dengan demikian, penanganan dan penangkalan terorisme juga berubah. Sebelumnya, pada Orde Lama dan Orde Baru, digunakan pendekatan militeristis. Namun pendekatan kekerasan ini justru menimbulkan kelompok baru terorisme. Jadi, sejak Reformasi, dilakukan pendekatan hukum. "Termasuk usaha deradikalisasi agar tak kembali melakukan tindakan teror."
EKO WIDIANTO