TEMPO.CO, Yogyakarta - Malam sebelum upacara labuhan ageng digelar, Sultan Hamengku Buwono IX bersama Mbah Maridjan-kuncen Gunung Merapi-mendatangi Raden Panewu Surakso Tarwono yang sedang bersemadi di Cepuri. Upacara labuh sesaji yang didakan delapan tahun sekali ini kerap dikaitkan dengan pemberian saji untuk Nyai Rara Kidul, "penguasa" pantai selatan.
Konon, petilasan di Pantai Parangkusumo, Bantul, Yogyakarta, yang menghadap persis ke laut selatan ini menjadi tempat bersua para raja Jawa dengan Nyai Roro Kidul. Pada malam bulan Oktober medio 1980-an itu, Sultan datang ke Cepuri mengenakan baju kebesaran raja lengkap dengan panunggul alias mahkota. Artinya, kedatangannya lebih dari sekadar menemui si juru kunci Parangkusumo.
Baca juga:
Sengit, Giliran Ahok Tantang Rizal: Bongkar Saja Rumah Saya!
Siswa SD Ini Berani Tolak Mentah-mentah Sepeda Hadiah Jokowi
Sultan ingin "membangunkan" Surakso dari semadinya sekaligus memastikan satu hal: labuhan mendapat restu dari Ratu Kidul."Ngarso Dalem hanya datang sebentar dan pergi setelah memberi dawuh," ujar Ali Sutanto, anak Surakso, menirukan ucapan mendiang bapaknya.
Tak ada yang tahu ke mana tujuan Sultan setelah itu. "Menghilang begitu saja." Yang jelas, Surakso langsung menyiapkan penyambutan arak-arakan sesaji yang akan dibawa dari Keraton Yogyakarta ke Cepuri sebelum dilarung ke laut selatan.
Bagi raja-raja Jawa, labuhan bukan sembarang upacara. Ritual itu berakar jauh pada kepercayaan tentang apa yang terjadi pada masa lalu. Alkisah, setelah mengalahkan Arya Penangsang, Panembahan Senopati mendapatkan Alas Mentalok, hutan di tenggara Yogyakarta (sekarang daerah Banguntapan). Tapi hutan lebat itu dihuni banyak makhluk halus. Untuk mengusir mereka, ia pun meminta bantuan Nyai Roro Kidul, yang bersinggasana di laut selatan.
Baca juga:Calon Dokter Usia 14 Tahun di UGM: Dia Bisa Gagal Jika...
Mujarab. Para penunggu itu akhirnya dapat diusir. Imbalannya, pendiri Kerajaan Mataram Islam itu berjanji melabuhkan serangkaian sesaji ke laut selatan sebagai balasan untuk sang Ratu. Pakaian wanita Jawa lengkap, pakaian lama Sultan, belasan kain mori berbeda jenis, potongan rambut dan kuku raja, kembang setaman, kemenyan, minyak wangi, daun sirih, serta aneka buah-buahan dan jajanan pasar dilarung setiap tahun.
Sejak itu mitos ini terus-menerus dinarasikan hingga lambat-laun melekat pada setiap sosok raja yang bertakhta. Tak terkecuali Sultan HB IX.
TIM TEMPO
Selanjutnya Baca:
Kisah Sultan: Saat Bertemu Nyi Kidul pada Bulan Purnama (1)
Kisah Sultan: Saksi Lihat Dia Masuk Laut Pakai Mobil (2)
Kisah Sultan: Kisah Keris dan Bisikan Gaib Soal Belanda (3)
Kisah Sultan: Kerata Tanpa Kusir Itu Seolah Ada Pengendali (5)