TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Operasi Air Nav Indonesia, Wisnu Darjono, mengatakan tak ada masalah dengan sistem navigasi manual Bandara Oksibil, Pegunungan Bintang, Papua. Menurut dia, kondisi topografi bandara adalah alasan utama masih dipertahankannya sistem navigasi manual.
"Bandara Oksibil ini seperti mangkuk yang dikelilingi perbukitan. Tak mungkin dipasang instrumen navigasi," kata Wisnu saat dihubungi Tempo, Selasa 18 Agustus 2015.
Wisnu juga mengatakan, radar ATC Bandara Oksibil hanya mampu membantu navigasi pilot hingga batas area sebelum memasuki sirkuit Oksibil. Saat pesawat sudah ada dalam area bandara tersebut, pilot harus menggunakan navigasi visual, atau mengandalkan pandangan mata, hingga pesawat mendarat. Hal ini pun sudah sesuai dengan aturan penerbangan internasional.
Adapun, kata dia, Air Nav akan menggunakan sistem navigasi satelit pada bandara-bandara dengan topografi pegunungan dan jurang. Sistem navigasi satelit ini mengharuskan bandara dan pesawat memiliki GPS sebagai alat pelacak.
Masalahnya, kata dia, hanya pesawat keluaran baru, yang diproduksi mulai 2010 hingga kini, yang sudah dilengkapi dengan GPS. "Kebanyakan pesawat lokal di daerah terpencil umurnya 20 tahunan, tentu tak ada GPS," kata dia.
Karena itu, Air Nav Indonesia akan berkoordinasi dengan maskapai penerbangan soal sistem satelit ini. Alasannya, dibutuhkan biaya tambahan bagi maskapai yang ingin melengkapi pesawatnya dengan GPS.
Di bandara-bandara Papua, hanya bandara di kota besar seperti Jayapura, Sentani, Biak, Sorong, dan Merauke yang dilengkapi dengan sistem navigasi instrumen, yang sama dengan Bandara Soekarno-Hatta. Sisanya, bandara mengandalkan kemampuan pandangan mata pilot terutama saat mulai terbang dan pendaratan.
YOLANDA RYAN ARMINDYA