TEMPO.CO , Jakarta - Lembaga penelitian Setara Institute menilai Mahkamah Konstitusi (MK) cukup berprestasi dalam setahun terakhir. Sebanyak 135 putusan yang dihasilkan MK pada periode 19 Agustus 2014-15 Agustus 2015 merupakan pencapaian tertinggi sejak terbentuknya MK. Setara Institute melaporkan kinerja MK selama setahun terakhir dalam rangka memperingati Hari Konstitusi, yang jatuh pada 18 Agustus 2015.
Setara Institute mengkaji 135 putusan MK dalam tone positif, negatif, dan netral. Hasilnya, 25 putusan memiliki tone positif, 3 putusan tone negatif, dan 107 putusan tone netral. "Tone positif berarti putusan MK dinilai sudah tepat dan berkontribusi positif pada kemajuan HAM, pluralisme, dan demokrasi. Salah satunya Undang-Undang Pilkada, putusan ini berkontribusi positif menghindari potensi penyimpangan atas kekuasaan," kata Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani, dalam acara "Konferensi Pers Laporan Kerja Mahkamah Konstitusi", Selasa, 18 Agustus 2015.
UU Pilkada atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Perubahan UU No. 1/2015 tentang Penetapan Perpu No. 1/2014 menyatakan, untuk maju menjadi kepala daerah, pegawai negeri, pejabat BUMN, wali kota, dan anggota DPR/DPRD yang mengikuti pilkada wajib mengundurkan diri terhitung sejak pencalonannya disahkan KPU/KPUD. Jika gagal terpilih, mereka tidak dapat kembali ke jabatan semula.
Selain UU Pilkada, MK dinilai berprestasi melalui putusannya ihwal komersialisasi air. "Begitu juga memutuskan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air sebagai inkonstitusional. Air itu menyangkut hajat hidup orang banyak sehingga tidak bisa dikomersialkan. Putsan MK ini memulihkan kedaulatan negara," ujar Ismail.
Namun Sentara Institute menilai MK di bawah kepemimpinan Arief Hidayat masih konservatif. "Putusan MK konservatif, menganut judicialism, yang artinya mengambil keputusan yang aman-aman saja. Ini bagus tapi ke depan perlu lebih progresif dengan mengambil terobosan," kata Bonar Tigor Naipospos, Wakil Ketua Setara Institute.
NIBRAS NADA NAILUFAR