TEMPO.CO, Bandung - Penyair Taufiq Ismail angkat bicara terkait dengan kurikulum pendidikan bahasa dan sastra yang diajarkan di sekolah-sekolah di Indonesia. Menurut dia, dari tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah atas, sistem belajar-mengajar bahasa tak mengalami perubahan.
Bahkan, kata Taufiq, kondisi pendidikan di Tanah Air semakin mengalami penurunan ketimbang zaman ketika negeri ini masih pekat dengan aroma penjajahan. "Kondisinya sekarang semakin menurun, terutama masalah bahasa dan sastra," katanya kepada Tempo setelah menghadiri peresmian Perpustakaan Ajip Rosidi di Jalan Garut, Kota Bandung, Sabtu, 15 Agustus 2015.
Menurut dia, pengajaran bahasa dan sastra di sekolah-sekolah itu harus diubah. Orientasi materi dalam pengajaran yang disampaikan oleh guru kepada peserta didik hanya berkutik pada tata bahasa. Dengan demikian, peserta didik merasa bosan karena hanya pengulangan semata, tidak membuka ruang bagi siswa untuk berkreasi.
"SD disuruh menghafal awalan, sisipan, akhiran; SMP awalan, sisipan, akhiran; di SMA pun sama, apakah itu fonem, apakah itu peribahasa, berikanlah definisimu," ujarnya.
Setidaknya, menurut dia, ada dua hal yang perlu diperbaiki, yakni ihwal kecintaan membaca buku dan kemampuan menulis peserta didik. "Jadi, saat SMA, dua hal itu saja yang perlu ditekankan," tutur pria kelahiran Bukittinggi, 25 Juni 1935, itu.
Taufiq berkisah, dulu, ketika Indonesia tidak lebih dari sekadar imajinasi, saat masa penjajahan Hindia Belanda, pengajaran bahasa dan sastra di negara kita sama dengan pelajaran bahasa dan sastra yang ada di Amerika dan Eropa. Setiap siswa, dia melanjutkan, harus bisa menguasai sekurang-kurangnya tiga bahasa, yakni Melayu, Belanda, dan Inggris.
Setiap siswa diwajibkan membaca buku sebanyak 25 dalam kurun waktu tiga tahun, yakni sembilan judul buku pada tahun pertama serta delapan judul buku pada tahun kedua dan ketiga. Adapun untuk tugas mengarang diwajibkan per satu minggu satu karangan sebanyak dua lembar. "Kalau dijumlahkan selama tiga tahun, anak itu mampu mengarang sebanyak 108 karangan," ucap penulis buku Prahara Budaya itu.
Sedangkan sekarang, kata dia, siswa hanya ditugaskan mengarang satu tahun sekali. Dan yang membuat Taufiq nyinyir adalah tema karangan itu sama di setiap SMA di Indonesia yang berjumlah sekitar 26 ribu sekolah, yakni "berlibur ke rumah nenek".
"Kewajiban menulis itu cuma sekali setahun, waktu mau naik kelas, jadi mirip salat Idul Fitri. Nah, itulah kebobrokan pendidikan kita sekarang, dan harus segera diperbaiki," ucapnya.
Maka itu, hingga kini, Taufiq bersama sastrawan lain sedang berusaha mengusulkan agar kurikulum pendidikan di Indonesia itu diubah. Namun usaha Taufik dan rekan-rekannya selama 17 tahun ke belakang nyaris tidak membuahkan hasil.
"Jadi kami sebagai para sastrawan minta terus kepada menteri supaya diganti kurikulumnya, tapi kan tahu sendiri mengubah kurikulum di Indonesia itu susahnya bukan main," katanya.
AMINUDIN