TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) Dorman Wandikmbo meminta Kepala Kepolisian Daerah Papua menanggapi kesepakatan bersama yang sudah disampaikan secara tertulis untuk menghentikan proses pemeriksaan dan membebaskan dua pemuda GIDI yang sedang ditahan polisi, yakni Arianto Kogoya dan Jundy Wanimbo.
"Kembalikan proses penyelesaian masalah ini kepada gereja dan muslim di Tolikara, karena kedua belah pihak sudah berdamai dan bersepakat selesaikan masalah ini melalui proses adat," kata Dorman kepada wartawan di Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua, Selasa, 11 Agustus 2015. (Baca: EKSKLUSIF: Penembakan Tolikara, Ini Penjelasan Pendeta GIDI)
Terkait dengan pemeriksaan dan penahanan kedua pemuda GIDI ini, kata Dorman, jelas menimbulkan keresahan, baik pihak keluarga maupun masyarakat di Tolikara. "Kami mohon proses hukum dihentikan dan kembalikan ke pihak yang berkepentingan agar dapat selesaikan secara adat. Jika proses hukum dipaksakan, situasi dan kondisi bukan jadi kondusif, tapi semakin menimbulkan keresahan dan memperkeruh situasi," jelasnya.
Arianto Kogoya dan Jundy Wanimbo ditangkap pada Kamis, 23 Juli 2015, di Karubaga, Tolikara dan keesokannya diterbangkan ke Polda Papua di Kota Jayapura. Keduanya masih ditahan di Polda Papua sebagai tersangka. "Dalam pemeriksaan, keduanya mengaku bersama empat rekan dan massa lainnya, melakukan penyerangan dalam kasus Tolikara, 17 Juli 2015 lalu," kata Kepala Bidang Humas Polda Papua Komisaris Besar Rudolf Patrige, Senin, 27 Juli 2015.
Sebelumnya, Kapolda Papua Brigadir Jenderal Paulus Waterpauw berjanji akan menuntaskan kasus Tolikara dengan adil dan sebaik-baiknya. Sehingga dirinya meminta saksi, baik dari masyarakat, tokoh adat, maupun pihak pemerintah bersedia memenuhi panggilan polisi untuk mempercepat proses penyidikan kasus Tolikara. (Baca: Kapolri: Ada Aktor Intelektual di Insiden Tolikara)
Sedangkan terkait dengan adanya permintaan kedua tersangka, yakni Arianto Kogoya dan Jundy Wanimbo dilepaskan oleh kepolisian, Paulus mengatakan, pihaknya sedang memproses kasus ini. "Sehingga biarlah semua bersabar dan menunggu dulu proses ini hingga upaya maksimal."
Praktisi hukum di Papua, Yulianto, menyarankan kasus Tolikara di deponering, baik pelaku pembakaran, maupun pelaku penembakan. "Deponering atau mengesampingkan perkara demi kepentingan umum," kata Yulianto yang juga Direktur Lembaga Bantuan Hukum Papua Justice and Peace di Jayapura.
Menurut Yulianto, kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ini diberikan undang-undang kepada Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang berhubungan dengan masalah tertentu.
Sedangkan yang dimaksud dengan kepentingan umum, yakni kepentingan bangsa dan negara atau kepentingan masyarakat luas, penjelasan pasal 35 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.
Perlu diketahui juga, kata Yulianto, dalam penegakan hukum dikenal asas oportunitas yang mengandung pengertian bahwa dalam melakukan penegakan hukum harus mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar, yakni kepentingan bangsa dan negara. "Jadi jika melihat kasus ini, kepentingan yang lebih besar itu juga harus dilihat," katanya.
CUNDING LEVI