TEMPO.CO, Jombang - Pengamat Islam dari Utrech University, Belanda, Martin van Bruinessen, menilai kekuatan Partai Kebangkitan Bangsa berperan dalam kisruh Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-33 di Jombang. Dalam situasi seperti ini sosok pemimpin yang karismatik seperti Kiai Mustofa Bisri sangat dibutuhkan untuk menyelesaikan gejolak.
Martin yang mengikuti proses pelaksanaan Muktamar NU dari awal hingga akhir mengatakan sebagai organisasi Islam terbesar di Indonesia, NU menjadi magnet bagi kekuatan luar untuk tarik-menarik. Kekuatan partai politik yang paling menonjol adalah PKB, partai yang dilahirkan oleh NU sendiri. “Saya tidak melihat ada peran partai lain seperti PDIP, Demokrat, Golkar, dan yang lainnya selain PKB,” kata Martin kepada Tempo di Jombang, Kamis, 6 Agustus 2015.
Sebagai partai yang memiliki basis massa kaum nahdliyin, PKB berkepentingan untuk ikut mengarahkan NU. Demikian pula kekuasaan birokrasi seperti Pemerintah Provinsi Jawa Timur yang diwakili Syaifullah Yusuf serta pemerintah pusat. Situasi ini menurut Martin sangat tidak bisa dihindari.
Dalam situasi seperti ini dibutuhkan seorang tokoh yang memiliki karisma luar biasa untuk memegang umat. Sebab bagaimanapun sikap warga nahdliyin yang patuh pada kiai menjadi kekuatan besar dalam melakukan konsolidasi setelah mengalami persoalan hebat. “Gus Mus telah menunjukkan karisma itu dan bisa diterima semua kelompok,” kata Martin.
Itu pula yang membuat kubu Said Agil tetap memaksakan Gus Mus menduduki posisi Rais Aam meski ditolak oleh Gus Mus. Sebab hanya Gus Mus pula yang akan bisa diterima oleh kelompok Salahudin Wahid.
Disinggung sikap Gus Mus yang menyatakan tidak bersedia dipilih menjadi Rais Aam, Martin menilai hal itu masih akan bisa berubah. Gus Mus hanya memerlukan waktu untuk merenung dan memikirkan kepentingan umat agar bersedia tampil mengendalikan NU. “Dia seorang seniman yang tak memiliki ambisi politik, jadi wajar kalau tidak mau dicalonkan dalam setiap pemilihan,” kata Martin.
HARI TRI WASONO