TEMPO.CO, Surabaya - Musikus dan produser musik kelahiran Kota Surabaya, Ahmad Dhani menilai proses politik yang terjadi di Indonesia dalam menentukan pemimpinnya selalu dimulai dengan politik pencitraan. Sehingga, jarang ada yang tulus, karena semuanya seakan berlomba-lomba untuk mengangkat popularitasnya dengan cara pencitraan.
Menurut Dhani, politik pencitraan ini dimulai sejak zamannya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, karena saat itu masyarakat mudah simpati dengan pemimpin yang selalu diserang oleh lawan politiknya. "Sebenarnya (politik pencitraan) ini dimulai sejak zamannya SBY. Jika SBY tidak dikuyo-kuyo Taufiq Kiemas waktu itu, mungkin masyarakat Indonesia tidak bersimpati,” kata Dhani kepada Tempo di salah satu hotel di Surabaya, Senin, 3 Agustus 2015.
Permasalahan politik itu, dia melanjutkan, menjadi bukti bahwa masyarakat Indonesia lebih suka pada sinetron dibanding faktanya. Sehingga, tak jarang elit partai politik menyajikan sinetron atau bahkan mengatur media untuk menaikan popularitasnya, dengan cara itu makan banyak masyarakat yang simpati dan bisa meraih suara yang banyak. “Nah, di sinilah kelemahan masyarakat Indonesia yang gampang bersimpati," kata dia.
Maka tidak salah, kata Dhani, apabila film sinetron di televisi ratingnya selalu tinggi, karena memang para pemimpinnya sering melakukan politik pencitraan. “Jadi, jangan salah kalau sekarang kecelik (salah pilih),” kata dia.
Pemimpin itu, ujar dia, adalah konseptor yang memiliki filosofi dalam membangun daerah atau bangsanya, sehingga tidak perlu memoles diri untuk pencitraan. "Kalau saya jadi Gubernur DKI, saya tidak perlu blusukan ke got-got lihat banjir. Saya bayar insinyur dari Belanda untuk masuk got membenahi got itu. Saya cukup di kantor saja membuat kebijakan dan membuat konsep,” kata Dhani.
MOHAMMAD SYARRAFAH