TEMPO.CO, Jombang - Terkait dengan isu politik uang dalam pemilihan Ketua Umum PBNU di Muktamar, pengamat asing peneliti Nahdlatul Ulama (NU), Martin van Bruinessen, menyarankan adanya lembaga internal di NU yang bertugas melakukan pengawasan.
“Lembaga internal NU mungkin akan diperlukan untuk menjaga transparansi dan bersihnya proses pemilihan baik di tingkat PBNU dan mungkin juga di tingkat wilayah,” katanya seusai halaqah (seminar) bertajuk Menjelang Satu Abad: Quo Vadis NU di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy), Tebuireng, Jombang, Sabtu, 1 Agustus 2015.
Baca Juga:
Martin mengatakan karena posisi strategis NU sebagai ormas terbesar, maka posisi kepemimpinan di NU sangat penting. “Pasti ada orang yang ingin memenangkan posisi itu atau ada usaha dari berbagai pihak untuk mempengaruhi proses pemilihan itu,” ujar profesor dari Utrecht University, Belanda, ini.
Muktamar NU ke-33 digelar di Jombang dan akan memilih Rais Aam Syuriah dan Ketua Umum Tanfidziyah. Sejumlah nama Rais Aam yang diprediksi bakal dicalonkan di antaranya pejabat Rais Aam saat ini, KH Mustofa Bisri atau Gus Mus, bekas Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi, dan KH Tolhah Hasan.
Sedangkan sejumlah orang yang meramaikan bursa nama calon Ketua Umum PBNU di antaranya inkumben KH Said Aqil Siradj, KH Salahudin Wahid atau Gus Solah, dan H. As’ad Said Ali.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) Alim Ulama NU 14-15 Juni 2015 di Jakarta diputuskan bahwa pemilihan Rais Aam melalui musyawarah mufakat oleh sejumlah orang atau ahlul halli wal ‘aqdi (AHWA) yang diusulkan PCNU dan PWNU melalui muktamar. Namun mekanisme ahwa ini masih jadi polemik karena diputuskan di luar forum muktamar sebagai forum tertinggi. Sebagian PCNU dan PWNU juga masih menginginkan Rais Aam dipilih langsung, sama dengan ketua umum.
ISHOMUDDIN