TEMPO.CO, Jakarta - Kejaksaan Agung menolak sepenuhnya gugatan praperadilan yang diajukan mantan Direktur Utama PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Dahlan Iskan. Menurut Kepala Sub-Direktorat Bantuan Hukum Kejaksaan Agung Muhammad Sunarto saat membacakan jawaban termohon di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, ada beberapa poin yang harusnya menyebabkan permohonan Dahlan gugur.
Pertama, Mahkamah Konstitusi dinilai telah melampaui kewenangannya dengan memutuskan penetapan tersangka bisa digugat praperadilan. Padahal, sesuai undang-undang, MK tidak boleh menciptakan dilema baru.
Kedua, permohonan Dahlan gugur karena kasusnya sudah mulai diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. "Tiga, terdapat kekeliruan subyek dalam permohonan. Termohon harusnya adalah Kepala Kejaksaan Tinggi, bukan Asisten Tindak Pidana Khusus," kata Sunarto di PN Jakarta Selatan, Senin, 27 Juli 2015.
Selain itu, empat, Kejaksaan menilai pengembangan penyidikan dalam kasus korupsi dugaan gardu induk telah menemukan bukti-bukti penyalahgunaan wewenang Dahlan selaku kuasa pengguna anggaran. "Sehingga termohon menolak seluruh dalil yang diajukan pemohon," ujarnya.
Kejaksaan menilai pengembangan penyidikan telah menemukan sejumlah bukti-bukti baru, yaitu terkait dengan sistem pembayaran dan belum tuntasnya pembebasan lahan untuk megaproyek tersebut, termasuk perbuatan Dahlan yang melawan hukum. Kerugian negara telah dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan mencapai Rp 6,025 triliun.
Sidang perdana praperadilan Dahlan dipimpin oleh hakim tunggal Lendriaty Janis. Dahlan absen dan hanya diwakili kuasa hukumnya, Yusril Ihza Mahendra. Agenda sidang adalah pembacaan permohonan dari pemohon dan dilanjutkan pembacaan jawaban dari termohon.
Sebelumnya, pada 5 Juni lalu, Dahlan ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pembangunan gardu induk Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara tahun anggaran 2011-2013. Saat itu, pendiri Jawa Pos Group ini menjabat sebagai Direktur Perusahaan Listrik Negara.
Sebagai kuasa pengguna anggaran, Kejaksaan Tinggi kemudian menjerat Dahlan dengan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Pasal itu mengatur perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi serta penyalahgunaan wewenang yang menyebabkan kerugian negara.
Tak terima ditetapkan sebagai tersangka, 22 Juli 2015, Dahlan mengajukan gugatan praperadilan ke PN Jakarta Selatan. Ia ingin menguji alat bukti dan proses penetapan tersangka atas dirinya. Dahlan berpendapat bahwa alat bukti harus didapat dalam proses penyidikan, bukan penyelidikan.
INDRI MAULIDAR