TEMPO.CO, Jombang - Dua profesor asing bakal bicara mengenai nasib Nahdlatul Ulama (NU) ke depan sebagai ormas keagamaan terbesar di Indonesia. Dua profesor peneliti NU tersebut adalah Mitsuo Nakamura dari Chiba University, Jepang, serta Martin van Bruinessen dari Utrecht University, Belanda.
Keduanya akan menyampaikan pikiran-pikiran kritisnya bersama tokoh NU, KH Salahudin Wahid alias Gus Solah, dalam sebuah halakah atau diskusi di Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jawa Timur, Sabtu pagi, 1 Agustus 2015. Halakah bertajuk “Menjelang Satu Abad: Quo Vadis Nahdlatul Ulama” itu digagas Jaringan NU Kultural (Janur) dan Pondok Pesantren Tebuireng.
Baca Juga:
Halakah ini bertepatan dengan pembukaan Muktamar NU Ke-33 pada Sabtu malam di Alun-alun Jombang. Selain Alun-alun Jombang, empat pondok besar di Jombang dijadikan sebagai lokasi agenda muktamar yang berlangsung 1-5 Agustus 2015 tersebut, yakni sidang komisi-komisi.
“Ada beberapa masalah yang harus disikapi NU saat ini, dan ini menarik untuk didiskusikan,” ucap penggagas halakah yang juga aktivis Janur, Aan Anshori, Minggu, 26 Juli 2015.
Beberapa masalah itu antara lain hubungan NU dengan pemerintah dan partai politik, penegasan Islam moderat di tengah persaingan faksi di internal NU, tantangan praktek korupsi dan eksploitasi sumber daya alam, serta konsolidasi dan penataan organisasi.
“Van Bruinessen dan Nakamura dikenal reputasinya sebagai peneliti yang concern terhadap dinamika ormas sipil dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Studi mereka akan berguna bagi NU untuk menata diri,” tutur Aan.
Gus Solah, adik kandung mantan Ketua Umum PBNU KH Abdurahman Wahid alias Gus Dur, membenarkan bahwa dia juga akan menyampaikan pikiran-pikirannya, terutama bagi keberlangsungan NU ke depan.
ISHOMUDDIN