TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Soedarmo mengatakan peraturan daerah yang mengatur larangan pembangunan rumah ibadah di Tolikara telah disetujui Bupati Usman Wanimbo dan DPRD Tolikara. Namun, perda tersebut tak pernah sampai ke pemerintah pusat.
Padahal, Kemendagri harus mendapat tembusan perda untuk kemudian diverifikasi. Apabila melanggar hak asasi atau bertentangan dengan Undang-Undang di atasnya, pemerintah pusat akan meminta pemerintah daerah merevisi beleid tersebut. "Apabila ada, Perda tersebut jelas melanggar hak asasi dan Pancasila," kata dia di Gedung Kemendagri, Rabu, 22 Juli 2015.
Perda tersebut, menurut Soedarmo, merupakan usulan dari Presiden Gereja Injili di Indonesia, Dorman Wandikmo, kepada Bupati Tolikara, Usman G Wanimbo. Kemudian, usulan tersebut dibahas Bupati bersama DPRD dan disahkan. Soedarmo mengatakan Bupati mengakomodir usulan GIDI karena juga merupakan anggota GIDI. Ia menyebut GIDI sangat dominan di Tolikara.
Bupati Tolikara, kata Soedarmo, tak bisa menunjukkan bukti fisik perda tersebut. Usman beralasan perda tersebut merupakan produk hukum pemerintahan yang lalu.
Perda tersebut dijadikan dasar hukum bagi GIDI untuk menerbitkan surat edaran pada 11 Juli 2015 lalu. Isi surat edaran tersebut melarang pelaksanaan ibadah salat Idul Fitri di Tolikara dan umat Islam menggunakan jilbab. Surat ini diduga menjadi penyebab ricuh di Tolikara saat Idul Fitri lalu.
Penyerangan yang terjadi bertepatan dengan hari raya Idul Fitri itu berawal dari protes jemaat Gidi terhadap penyelenggaraan salat Id di lapangan Markas Komando Rayon Militer, Distrik Karubaga, Tolikara. Lapangan tersebut berdekatan dengan permukiman warga, kios, Masjid Baitul Muttaqin, dan gereja. Saat itu jemaat Gidi--jemaat Kristen mayoritas di Tolikara--tengah menyelenggarakan kebaktian kebangunan rohani.
TIKA PRIMANDARI