TEMPO.CO, Jakarta - Kerusuhan di Kabupaten Tolikara, Papua, pada Jumat, 17 Juli 2015, menewaskan satu anak dan melukai sebelas orang. Kerusuhan juga mengakibatkan satu musala, serta sejumlah rumah dan kios ludes dilahap api.
Menurut anggota Jaringan Advokasi Penegakan Hukum dan Hak Asasi Manusia Pegunungan Tengah Papua, Theo Hesegem, anak yang tewas itu telah dimakamkan di Wamena pada pukul 16.00 WIT.
"Saya tadi ikut pemakaman anak itu. Orang tuanya hadir dan masih sangat berduka," kata Theo kepada Tempo melalui telepon sore ini, 18 Juli 2015.
Pemakaman berlangsung singkat. Begitu peti jenazah tiba, kata Theo, langsung dimakamkan. Sehingga ia tidak sempat menyaksikan tubuh bagian mana dari anak itu yang terluka hingga tewas. "Saya tidak bisa lihat lukanya karena dibawa ke sini sudah dalam peti," ujarnya.
Theo kemudian menjelaskan, anak itu lahir tanggal 6 Agustus 1999 dan berada di Tolihara saat kerusuhan terjadi.
Sebelumnya anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Natalius Pigei, menjelaskan, korban terluka karena tembakan polisi sebelum jemaat Gereja Injil di Indonesia (GIDI) membakar Musala Baitul Mutaqin bertepatan saat salat Idul Fitri, Jumat, 17 Juli 2015.
Sebelumnya Ketua GIDI wilayah Tolikara Pendeta Nayus Wenea dan Sekretaris GIDI Pendeta Marthe Jingga melayangkan surat imbauan kepada umat Islam di Tolikara pada 11 Juli 015. Nayus meminta masyarakat muslim menyelenggarakan perayaan Idul Fitri pada 17 Juli 2015 di Karubaga, Tolikara. Muslim hanya boleh menggelar salat Idul Fitri di luar wilayah itu karena pada 13-19 Juli 2015 GIDI menyelenggarakan seminar dan KKR pemuda GIDI tingkat internasional.
"Mereka meminta agar muslim mengecilkan (suara) speaker karena kegiatannya bersebelahan dengan penyelenggaraan KKR," kata Pigai.
Surat imbauan ditembuskan ke kepolisian resor dan pemerintah daerah Tolikara beberapa hari sebelum Hari Raya Idul Fitri. Namun, Jumat lalu masyarakat muslim Tolikara tetap menggelar salat Idul Fitri dan mengumandangkan takbir dengan pengeras suara di lapangan Markas Komando Rayon Militer (Makoramil) 1702/Karubaga. Lapangan tersebut berdekatan dengan penyelenggaraan KKR jemaat GIDI.
Pigai mengatakan jemaat GIDI langsung marah dan memprotes polisi yang berjaga di sekitar lapangan. "Mereka protes karena sudah memberi imbauan, kemudian polisi balik menembak warga," kata Pigai.
Karena kerusuhan itu, kemudian jemaat GIDI mulai melemparkan batu ke arah kios dan Musala Baitul Mutaqin. Mereka juga membakar beberapa rumah, kios, dan musala itu. "Masyarakat melampiaskan kemarahan ke arah musala. Kalau polisi tidak menembaki warga, pasti reaksi mereka berbeda," kata Pigai.
Saat pembakaran terjadi, seluruh jemaah salat Idul Fitri membubarkan diri. Warga diungsikan ke Koramil 1702/s. Hingga kini Komnas HAM, Kementerian Agama, dan kepolisian Papua masih mengusut kasus ini.
MARIA RITA | PUTRI ADITYOWATI