TEMPO.CO, Jakarta - Aktivis yang tergabung dalam Komisi Pemantau Peradilan menengarai ada skenario pelemahan Komisi Yudisial. Hal itu setidaknya tercermin dari empat upaya besar yang belakangan mencuat dan berpotensi menyudutkan Komisi Yudisial.
“Ada upaya judicial review UU KY, kriminalisasi komisioner, pengabaian rekomendasi KY, dan penolakan hakim diperiksa oleh KY,” ujar peneliti pada Masyarakat Pemantau Peradilan Fakultas Hukum Universitas Indonesia Dio Ashar Wicaksana melalui siaran pers yang diterima Tempo, Minggu, 12 Juli 2015.
Menurut Dio, upaya pelemahan KY sudah dimulai pada 2006. Saat itu Mahkamah Konstitusi membatalkan kewenangan KY dalam mengawasi hakim konstitusi. Lantas, pada 2015 keterlibatan KY dalam seleksi pengangkatan hakim seperti tertuang dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2004 tentang Komisi Yudisial juga digugat.
“Padahal keterlibatan KY untuk menjaga integritas dan profesionalisme calon hakim,” Dio berujar.
Belakangan upaya memperlemah KY makin nyata dengan penetapan tersangka Taufiqurahman Syahuri, salah seorang komisioner. Dia dilaporkan polisi karena dianggap mencemarkan nama baik hakim Sarpin Rizaldi, hakim tunggal praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan.
Jauh sebelum penetapan tersangka, Dio menambahkan, wewenang KY seakan diabaikan. Hal itu tercermin dari rekomendasi dugaan pelanggaran etik Sarpin yang tak digubris oleh Mahkamah Agung.
Pada saat bersamaan, Sarpin juga tak pernah memenuhi undangan pemeriksaan yang dilayangkan KY. Pembangkangan itu juga pernah dilakukan oleh Herry Swantoro, Ibnu Prasetyo, dan Nugroho Setiadji yang mengadili perkara kasus mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Antasari Azhar.
“Bahkan, hakim kasus eksekusi gedung Arthaloka juga pernah menolak diperiksa,” kata dia.
Menurut Dio, pelemahan terhadap KY merupakan ironi. Sebab, lahirnya KY merupakan amanat reformasi untuk mewujudkan reformasi peradilan. “KY dibentuk sebagai penyeimbang Mahkamah Agung dalam kekuasaan kehakiman,” ujarnya.
RAYMUNDUS RIKANG